Pelapor Dugaan Korupsi Baznas Jabar Malah Jadi Tersangka, LBH Bandung Minta Dibebaskan
ERA.id - Mantan pegawai Badan Amil Zakat (Baznas) Jawa Barat, Tri Yanto ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan dugaan tindak pidana illegal akses dan membocorkan dokumen rahasia. Polda Jabar menjerat Tri Yanto dengan Pasal 48 Jo Pasal 32 Ayat 1 dan 2 UU ITE.
Direktur LBH Bandung Heri Pramono mengatakan pihaknya mengecam proses penetapan tersangka terhadap Tri Yanto. Padahal, Tri Yanto berani melaporkan dugaan penyalahgunaan wewenang dan tindak pidana korupsi di lingkungan kerjanya.
Belum lagi, sejak pelaporan dua tahun silam, Tri Yanto yang menjabat sebagai Kepala Kepatuhan dan Satuan Audit Internal Basnaz Jabar dipecat secara sepihak dengan alasan pelanggaran disiplin yang tidak jelas.
"Kami melakukan pendampingan hukum atas kriminalisasi pelapor (whistleblower). Kami mengkritik penetapan tersangka pada Tri Yanto, yang melaporkan dugaan korupsi dana zakat senilai Rp9,8 Miliar pada 2021 sampai 2023 dan dana hibah APBD Pemprov Jabar sekitar Rp3,5 Miliar," kata Heri, Selasa (27/5/2025).
Berdasarkan informasi yang dia terima, Tri Yanto dijadwalkan diperiksa oleh Polda Jabar pada Senin 26 Mei 2025. Pemeriksaan itu sebagai tindak lanjut atas laporan dugaan tuduhan dugaan tindak pidana ilegal akses dan membocorkan rahasia.
Menurutnya, pemanggilan ini menjadi keprihatinan serius karena Tri Yanto sebelumnya merupakan pelapor dugaan kasus korupsi Baznas.
Dia menyebut rencana pemeriksaan terhadap Tri Yanto sebagai tersangka merupakan bentuk pembalasan (retaliation) yang melanggar prinsip perlindungan pelapor dan menghambat pemberantasan korupsi.
"Kami juga mendesak Polda Jabar bersikap proporsional, tidak menjadikan proses hukum sebagai alat pembalasan, serta memprioritaskan penyelidikan terhadap substansi laporan korupsi yang diajukan Tri Yanto," tuturnya.
Sebelumnya, tambah Heri, selama proses lebih dua tahun pemeriksaan kasus korupsi yang diduga dilakukan oleh Pimpinan Baznas Jabar, Tri Yanto sudah memberikan informasi kepada pihak pengawas internal Baznas RI dan Inspektorat Jabar serta aparat penegak hukum.
Namun, sampai saat ini pihak inspektorat Jabar dan pengawas internal Baznas RI belum memberikan informasi terkait hasil pengawasannya kepada pelapor, sedangkan aduan pada aparat penegak hukum lainnya prosesnya masih tahap klarifikasi.
"Yang sangat disayangkan setelah melakukan pengaduan ke pihak Inspektorat Jabar dan pengawas internal Baznas RI, identitas Tri Yanto sebagai pelapor diketahui oleh Pimpinan Baznas Jabar sebagai terlapor. Sehingga, diduga menjadi dasar aduan kepada Polda Jabar dengan tuduhan dugaan tindak pidana ilegal akses dan membocorkan rahasia," kata dia.
Di samping itu, LBH Bandung menilai penetapan tersangka pada Tri Yanto yang notabene pelapor kasus korupsi, menjadi kemunduran atas peran serta masyarakat membantu negara memberantas praktik korupsi.
Padahal, posisi hukum Tri Yanto sebagai pelapor dugaan korupsi dijamin oleh UU Perlindungan Saksi dan Korban untuk tidak mendapatkan serangan balik, sepanjang laporan itu diberikan dengan iktikad baik.
Bahkan, negara juga dimungkinkan memberi penghargaan kepada warga yang memberi informasi kepada penegak hukum mengenai dugaan korupsi, sebagaimana tercantum dalam PP Nomor 43 Tahun 2018.
"Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Jika ada tuntutan hukum terhadap pelapor atas laporannya, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang diaporkan telah diputus oleh pengadilan dan berkekuatan hukum tetap. Itu tercantum pada Pasal 10 ayat 1 dan 2 UU Nomor 31 Tahun 2014," ujarnya.
Dalam kasus ini, LBH Bandung mencatat sejumlah pelanggaran. Pertama, hak atas perlindungan pelapor yang diatur dalam Pasal 33 UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang sejatinya merupakan derivasi dari UN Convention Against Corruption Pasal 32 dan 33.
Kedua, hak atas proses hukum yang adil (ICCPR Pasal 14) di mana terjadi ketimpangan akses keadilan antara pelapor (individu) dengan institusi kuat seperti Baznas. Ketiga, hak atas kebebasan berekspresi (Pasal 19 ICCPR) yang dibatasi melalui pemidanaan UU ITE.
"Kasus ini memperlihatkan pola struktural yang problematic, di mana hukum digunakan sebagai alat represi dengan penggunaan pasal karet (UU ITE) untuk melindungi pelanggaran dan terjadi asimetri kekuasaan di mana terjadi ketidakseimbangan antara pegawai biasa vs lembaga berjaringan politik kuat," kata Heri.
Kemudian, LBH Bandung mencatat setidaknya terdapat potensi dampak sistemik dari kasus ini, yakni terciptanya chilling effect bagi pegawai lain yang mengetahui penyimpangan.
Selanjutnya, melemahnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan dana publik, ancaman terhadap iklim transparansi di sektor zakat nasional.
"Jika dibiarkan, kasus ini akan menjadi preseden buruk bagi perlindungan whistleblower (pelapor) di Indonesia. Lebih jauh, ini menunjukkan kerentanan sistem hukum Indonesia yang masih mudah dijadikan alat pembalasan oleh institusi-institusi kuat," tuturnya.
Berdasarkan hal tersebut, LBH Bandung mendesak agar,
1. Polda Jabar menghentikan perkara Tri Yanto sebagai tersangka. Proses hukum ini merupakan bentuk pembalasan (retaliation) yang jelas melanggar UU Perlindungan Whistleblower dan prinsip due process of law. Negara wajib melindungi pelapor, bukan mengkriminalisasinya;
2. Baznas Jabar sebagai badan publik, untuk segera mencabut laporan polisi terhadap Tri Yanto, dikarenakan menjadi alat kriminalisasi Whistleblower dan menjadi preseden terciptanya chilling effect; serta
3. Komnas HAM, LPSK, Kompolnas, Ombudsman, dan lembaga negara lainnya mengawal proses hukum yang sedang berjalan di Polda Jabar.