Mengenang Kalijodo Lewat Cinta Satu Malam
Sudah satu tahun lebih Kalijodo berganti wajah. Setelah Februari 2016 lalu, Pemprov DKI Jakarta yang dikomandoi Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengubah wajah Kalijodo yang penuh 'lendir' dan premanisme menjadi taman terbuka ramah untuk segala kalangan.
Dalam keriuhan malam tahun baru, di tengah kondisi perut yang sesekali bergejolak terpicu irama kendang nan mantap, era.id menemui Mulya. Dia adalah pemuda setempat yang lahir dan tumbuh besar di Kalijodo.
Mulya mengisahkan, pada masa keemasannya, koplo menjadi salah satu hiburan yang paling banyak menarik minat pengunjung. Selain bisnis 'esek-esek' dan bar-bar kecil penjaja minuman beralkohol di sudut-sudut kawasan tentunya.
Pemuda 21 tahun itu larut dalam asyiknya pertunjukan dangdut koplo yang dihadirkan penyelenggara, lengkap dengan biduan yang menggoda lewat goyangan seirama 4/4 pukulan kendang. Mulya bersyukur, ia dapat kembali menikmati wajah lama Kalijodo, meski lewat cinta satu malam yang tanpa hasrat seksual.
"Dangdut itu bagus. Lebih bagus dangdut karena kan musik bangsa kita sendiri. Jadi senang rasanya," tutur Mulya, Minggu (31/12/2017) kemarin.
Ayah Mulya adalah seorang kuli bangunan. Sekali waktu, ia menemani sang ayah mengerjakan renovasi bangunan yang rusak akibat pertengkaran antarpemabuk atau lapuk akibat kondisi bangunan yang tidak didesain secara permanen.
Kalijodo dahulu memang keras. Premanisme dan prostitusi jadi warna yang tak kunjung hilang dalam malam-malam di belasan tahun kehidupan Mulya. Ya, sampai akhirnya Ahok menertibkan kondisi tersebut.
Imbas dari penertiban yang dilakukan pemprov kala itu berdampak besar. Sebanyak 3.882 jiwa direlokasi, 300 bangunan permanen dan 20 bangunan semipermanen digusur. 58 di antaranya adalah kafe dan bar serta satu masjid dan gereja.
"Dulu tempat prostitusi, bar-bar, rumah-rumah digusur, sebagian pindah ke Marinda, Muara Angke. Para PSK pulang ke kampung masing-masing," tutur Mulya.
(Infografis: Shultanah Utharid)
Semalam suntuk nikmati koplo
Cinta satu malam di Kalijodo malam kemarin tak hanya dinikmati Mulya. Adi (19), seorang remaja yang datang bersama tiga rekannya mengaku sengaja datang ke Kalijodo untuk menghabiskan malam pergantian tahun.
Beda dengan Mulya. Bagi mereka, gelaran koplo tadi malam bukan hanya wajah lama Kalijodo yang kembali nongol, namun juga pengingat akan kekayaan budaya bangsa.
Meski pada masanya sangat identik dengan Kalijodo, toh koplo merupakan salah satu musik asli masyarakat Indonesia, yang bahkan lebih otentik dibanding dangdut yang menjadi akar dari koplo itu sendiri.
"Dangdut (koplo) bisa dinikmati semua usia. Daripada K-Pop. Kalau dangdut bisa goyang," ucap Adi yang sejurus kemudian memperagakan joget koplo.
Sepakat dengan Adi. Seperti yang era.id rasakan. Hentakan kendang koplo merupakan sebuah kenikmatan. Walau tak sepopuler Korean Pop (K Pop) di media massa, namun tetap saja, kendang koplolah yang membuat malam kemarin jadi asoy.