Menteri Pigai Baru Ngomong soal HAM Saat Demo Ricuh Mereda dan Ribuan Orang Ditangkap

ERA.id - Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menegaskan proses penanganan unjuk rasa alias demonstrasi tak boleh dilakukan dengan menggunakan instrumen secara berlebihan.

Sebab, kata dia, para demonstran yang menyampaikan pendapat, pikiran, dan perasaan, merupakan bagian dari HAM lantaran terdiri atas mahasiswa, siswa, masyarakat, dan perkumpulan masyarakat.

Pigai menampaikan itu sewaktu eskalasi demonstrasi menurun setelah pada 28-29 Agustus demonstrasi sempat memanas di beberapa daerah. "Jadi tidak boleh dilakukan penegakan hukum dengan pendekatan excessive use of force atau excessive use of power," ucap Pigai dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa kemarin.

Maka dari itu, dirinya meminta penegakan hukum terhadap demonstran yang murni hanya menyampaikan aspirasi harus menggunakan jalan keluar yang lebih progresif dan bermartabat, terutama dengan pendekatan restorative justice atau keadilan restoratif.

Begitu pula dengan demonstran yang ditahan oleh aparat penegak hukum, Pigai berharap bahwa berbagai hak yang melekat pada individu yang ditahan, seperti hak atas beribadah, hak untuk mendapatkan kesehatan yang baik, dan hak kebutuhan lainnya yang wajib dipenuhi setiap saat di dalam tahanan kepolisian harus diberikan melalui layanan yang cukup dalam rangka pemenuhan kebutuhan bagi mereka.

Sebaliknya, bagi para demonstran yang melanggar atau menentang hukum, dia berharap penegakan hukum bisa dilakukan secara profesional berbasis pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Ribuan orang ditangkap

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat setidaknya 3337 massa aksi ditangkap sepanjang tanggal 25–31 Agustus 2025 di 20 kota, yaitu Jakarta, Depok, Semarang, Cengkareng, Kab. Bogor, Yogyakarta, Magelang, Bali, Bandung, Pontianak, Medan, Sorong, Malang, Samarinda, Jambi, Surabaya, dan Malang.

Kini YLBHI menilai Pemerintah Prabowo sedang menyebarkan ketakutan terhadap warga negaranya sendiri lewat penggunaan kekerasan, tuduhan kriminal (makar, terorisme) terhadap warga, penangkapan, penyerbuan, dan penembakan gas air mata yang terjadi di dalam kampus, dan pengerahan tentara dalam patroli. 

Di Surabaya, Jakarta dan Bandung, polisi menangkap orang secara acak, tak terkecuali warga yang sedang beraktivitas di sekitar lokasi aksi. Selain itu, aparat kepolisian juga menutup akses bantuan hukum bagi warga yang ditangkap. Di Semarang, Yogyakarta, Magelang, Jakarta, Bandung, dan Surabaya, Pengacara publik dari LBH-YLBHI dihalangi untuk memberikan bantuan hukum kepada massa aksi yang ditahan.

Paling miris, di Manado, Pengacara Publik LBH Manado ditangkap kemudian dikeroyok polisi. Di Samarinda, salah satu Pengacara Publik LBH Samarinda ditangkap dan diseret kemudian diperiksa di Polresta Samarinda hingga pukul 02:00 WITA dini hari.