Yakin Ekonomi Membaik, Kemendagri Sebut Revisi UU Pemda untuk Fleksibel Otonomi Daerah
ERA.id - Direktur Fasilitas Kelembagaan dan Kepegawaian Perangkat Daerah, Ditjen Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Cheka Virgowansyah mengatakan, revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (RUU Pemda) merupakan inisiatif DPR RI dan bertujuan mensinkronisasikan UU Pemda dengan UU lainnya seperti UU Minerba, UU Ciptaker dan UU lainnya yang terkait dengan pemerintahan daerah.
“Urgensinya, karena otonomi daerah sudah berjalan 25 tahun, kesejahteraan daerah, pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk miskin semakin berkurang, competitiveness (daya saing) daerah over all membaik,” kata Cheka Virgowansyah kepada wartawan, Rabu (26/11/2025).
Cheka mengungkapkan pelayanan publik Indonesia terus semakin membaik, dari semula di urutan 185 pada 2010 menjadi urutan 71 pada saat ini. Pelayanan publik membaik ini diiringi dengan indeks pelayanan publik semakin membaik, mal pelayanan publik yang jumlahnya mencapai 256 mal di semua daerah.
Namun, dia menyebut Pemda saat ini menghadapi struktur organisasi yang berlebihan (over structure). Selain itu, adanya tumpang tindih kewenangan dan ketidaksesuaian kebutuhan pelayanan dengan struktur organisasi.
“Revisi UU Pemda diharapkan menjadi solusi untuk penguatan tata kelola pemerintah daerah, penyederhanaan kelembagaan, peningkatan kualitas layanan publik, dan optimalisasi sumber daya manusia (SDM) aparatur sipil negara (ASN) di daerah,” ucap Cheka.
Menurutnya, fokus utama dalam revisi UU Pemda adalah penataan kelembagaan perangkat daerah agar lebih efisien, efektif dan adaptif terhadap dinamika Pembangunan.
Sebab, selama ini anggaran yang dialokasi untuk sebuah lembaga perangkat di daerah didasarkan pada klasifikasi, misalnya kelas A atau B. Ketika membentuk sebuah lembaga, maka dibutuhkan dana yang cukup besar mulai dari anggaran kepala dinas, sekretaris dinas, sampai dengan bidang-bidang hingga operasional kantor lembaga tersebut.
Jadi sebuah lembaga ditetapkan tipe A, maka Pemda itu harus membiayai sesuai tipe A. Meski ada kegiatan atau tidak, pembiayaan yang harus dikeluarkan harus sesuai tipe lembaga A. Alhasil, Pemda selama ini tidak bisa fleksibel.
“Nah dalam perubahan nanti, pembiayaan kelembagaan disesuaikan dengan kebutuhannya, jadi bisa diatur lebih fleksibel. Sehingga value for money dari kelembagaan yang ada. Fokus utamanya adalah outcomenya,” tutur Cheka.
Berdasarkan temuan Kemendagri terkait data kelembagaan, perbandingan antara jumlah organisasi perangkat daerah (OPD) dengan produk domestic bruto (GDP) regional dan pertumbuhan ekonomi di masing-masing daerah, tidak berkorelasi positif.
Cheka menyebut fleksiblilitas pembiayaan penting agar tiap daerah dapat mensejahterakan masyarakatnya. Bila suatu lembaga daerah dapat dibuat fleksibel dengan fokus pada outcome-nya, maka hal itu akan jauh lebih cepat mengakselerasi pertumbuhan.
“Misalnya dinas tenaga kerja, tugas utamanya adalah membuat orang yang menganggur menjadi bekerja. Bukan malah melaksanakan rapat atau job fair. Lembaga ini bisa saja beraktivitas seperti menggelar job fair atau kegiatan yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan tapi memang benar-benar ada hasilnya yakni bisa menyerap tenaga kerja,” jelas Cheka.
“Jadi fokusnya OPD yang terkait dengan ketenagakerjaan adalah bagaimana kegiatan lembaga itu bisa bermanfaat yang tadinya nganggur jadi bisa bekerja. Sebab yang terjadi sekarang adalah ketika ditanya, apa yang sudah dilakukan dinas tenaga kerja maka dijawabnya kami sudah melakukan rapat, kami sudah melakukan job fair, padahal bukan itu tapi seberapa jauh outcome-nya,” sambungnya.
Di sisi lain, otonomi daerah sudah memberikan banyak manfaat dan perbaikan bagi daerah. Grafik perbaikan yang dirasakan dari pelaksanaan otonomi daerah selain tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat, pertumbuhan ekonomi yang meningkat, juga terkandung adanya peningkatan angka harapan hidup.
“Angka harapan hidup meningkat dari semula pada tahun 2000 hanya 66 tahun, sekarang jadi 72,26 tahun. Artinya semakin baik. Lalu angka rata-rata lamanya sekolah dari tadinya 7 tahun sekarang jadi 8,8 tahun,” ungkap Cheka.
Cheka menjelaskan beberapa tujuan utama otonomi daerah adalah pelayanan publik, yaitu bagaimana melayani masyarakat lebih cepat dari yang tadinya 30 menit jadi 10 menit, hingga kemudahan perizinan. Untuk itu dibangun mal-mal pelayanan publik di setiap daerah.
Pemerintah pusat dan daerah harus punya satu konsep yang sama, yaitu melayani. Sebab, masyarakat tidak mau tahu ada berapa banyak organisasai perangkat daerah (OPD) yang ada, seberapa besar tipe lembaganya apakah tipe A, tipe B atau tipe C.
“Terpenting bagi rakyat, kami bisa sejahtera, kami bisa punya daya saing, kami bisa mendapatkan pelayanan publik yang lebih baik. Jadi masyakarat kepalanya bisa pintar, perutnya kenyang dan dompetnya penuh. Human Development Index semacam itulah yang ingin dicapai dari revisi UU Pemda ini,” kata Cheka Virgowansyah.