Jadi Tersangka, Bupati Kotawaringin Timur Rugikan Negara Rp5,8 Triliun
"KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan dan menetapkan SH sebagai tersangka," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (1/2/2019).
Supian diduga telah menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain atau korporasi dan menyalahgunakan kewenangannya yang dapat merugikan keuangan negara maupun ekonomi negara dengan memberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada tiga perusahaan yaitu, PT Fajar Mentaya Abadi (FMA), PT Billy Indonesia (BI), dan PT Aries Iron Mining (AIM).
"Diduga terjadi kerugian negara sekurang-kurangnya Rp5,8 triliun dan USD711 ribu yang dihitung dari hasil produksi pertambangan bauksit, kerusakan lingkungan, dan kerugian kehutanan akibat produksi dan kegiatan pertambangan yang dilakukan PT FMA, PT BI, dan PT AIM," jelas Syarief.
Terkait jumlah kerugian tersebut, kasus yang menjerat Supian ini disebut-sebut setara dengan kerugian negara dalam kasus KTP Elektronik dengan kerugian negara sebesar Rp2,3 triliun dan kasus BLBI yang merugikan negara sebesar Rp4,58 triliun.
Dalam kasus penerbitan IUP itu, Syarief mengungkap, Bupati Kotawaringin Timur itu diduga menerima sejumlah pemberian, termasuk mobil mewah.
"Terkait dengan sejumlah pemberian izin tersebut, diduga SH (Supian Hadi) selaku Bupati Kotawaringin Timur periode 2010-2015 telah menerima mobil Toyota Land Cruiser seharga Rp 710 juta, mobil Hummer H3 seharga Rp 1,35 miliar, dan uang Rp 500 juta," ungkapnya.
Supian Angkat Timsesnya Jadi Petinggi Perusahaan
Dalam kasus ini, diduga Supian juga mengangkat teman-temannya yang merupakan timses saat kampanye sebagai direktur dan Dirut PT FMA. Masing-masing dari mereka mendapat jatah saham sebesar 5 persen.
Pemberian izin itu juga dilakukan secara bertahap. PT FMA diberikan pada Maret 2011. Saat itu Supian menerbitkan IUP operasi produksi seluas 1.671 hektare kepada PT FMA, yang berada pada kawasan hutan. Tapi, saat menerbitkan IUP tersebut, Supian disebut mengetahui PT FMA belum mempunyai sejumlah dokumen perizinan, seperti amdal.
Sedangkan untuk PT BI, Supian diduga menerbitkan izin secara bertahap sejak tahun 2010 hingga 2013. Akibat perbuatan Supian, PT BI diduga menimbulkan kerugian yang dihitung dari hasil produksi setelah dikurangi royalti yang telah dibayarkan dan kerugian lingkungan. Sementara, untuk PT AIM, Supian tetap menerbitkan IUP padahal PT AIM tidak memiliki kuasa pertambangan.
Sehingga atas perbuatannya, Supian kemudian disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.