'Nyanyian' Sudirman Said yang Tak Etis
Pertemuan itu, kata Direktur Materi dan Debat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga memuat izin operasi Freeport yang akan diperpanjang. Lalu kenapa Sudirman baru mengatakannya sekarang, ketika pemilihan presiden tinggal menghitung bulan?
Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Analisis Politik Indonesia (L-API) Maksimus Ramses Lalongkoe melihat manuver buka-bukaan rahasia Sudirman Said sangat tidak etis. Sebab menurutnya jika Sudirman merasa ada yang tidak benar dalam pertemuan itu harusnya dia sampaikan pada saat itu juga.
"Kalau dia menemukan ada fakta kontradiksi saat itu, ya, dia bicara saat itu. Tapi kan dia bicara setelah didepak jadi menteri dan sekarang dia baru bilang, nah, ini enggak etis," kata Maksimus saat dihubungi era.id, Kamis (21/2/2019).
Dirinya melihat ada upaya pengalihan isu dari Sudirman agar simpati publik beralih ke Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Selain itu rahasia yang diungkap Sudirman saat ini tidaklah relevan dengan 51,7 persen saham Freeport yang telah dikuasai pemerintah Indonesia.
"Proses-proses ini kan sudah berjalan lama. Freeport juga sudah diambil alih sebesar 51 persen oleh pemerintah. Tiba-tiba dia bicara saat ini, ya, tidak tepat," ungkapnya.
Baca Juga: Jokowi: Saham Freeport Sudah Lunas Dibayar
Hal senada juga disampaikan Sekretaris Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf Amin, Hasto Kristiyanto yang ikut angkat bicara perihal 'nyanyian' Sudirman Said. Bagi Hasto kurang etis rasanya jika membuka borok seseorang hanya karena hal-hal yang tidak substansial.
"Bukan hanya karena persoalan pribadi kemudian hal-hal yang tidak substansial disampaikan hanya sekedar sebagai sebuah kritik," ungkapnya.
Timses Jokowi-Ma'ruf Amin juga merasa kalau Sudirman Said sebetulnya hanya membuat sensasi dan berusaha melakukan dengan framming terjadinya skandal dalam pengambilan alih saham PT Freeport.
"Kalau dikatakan tahun 2015 ada pertemuan secara sembunyi-sembunyi, lah, dia bilang sendiri di media kok tahun 2015. Beliau bahkan diwawancara di salah satu media mainstream di televisi dan videonya ada," ungkap Arya Sinulingga.
Terlepas dari itu pertemuan rahasia atau tidak, Presiden Jokowi telah mengatakan Freeport memang berkali-kali minta kepastian hukum ke pemerintah, bukan hanya pada saat itu. Jokowi mengaku berkali-kali pula bilang perpanjangan bisa dilakukan jika dan hanya jika 51 persen saham dikuasai pemerintah.
Klaim Sudirman soal pertemuan rahasia dibantah langsung oleh Jokowi, tapi dengan jawaban guyonan.
"Kalau pertemuan pasti ngomong, enggak diam-diaman. Ada ada saja. Ya biasalah," kata Jokowi di Jakarta Utara, Rabu (20/2).
Baca Juga: Divestasi Freeport yang 'Tak Sesederhana Itu Ferguso'
Biar kalian paham, cerita Sudirman Said dimulai ketika dia masih menjabat sebagai Menteri ESDM. Disebutnya pertemuan rahasia itu terjadi pada awal keluarnya surat tertanggal 7 Oktober 2015 dengan nomor 7522/13/MEM/2015 yang berisi perpanjangan kegiatan operasi freeport di Indonesia.
Dalam pertemuan itu, Jokowi sudah didampingi James R. Moffett yang saat itu tidak lain bos Freeport McMoran Inc, induk PT Freeport Indonesia.
Ketika itu Freeport memang sedang alot-alotnya mendesak pemerintah untuk memperpanjang izin mereka. Sebab berdasarkan Kontrak Karya jilid II yang ditandatangani pada 1991, periode produksi Freeport berakhir pada 2021 dan mereka ingin memperpanjangnya jadi 2041.
Dalam kontrak itu juga disebutkan kalau dalam 20 tahun atau paling lambat 2011, Freeport juga diharuskan mendivestasi atau menjual saham mereka sebesar 51 persen.
Sebab dengan berpatokan pada Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994, Freeport tak mengharuskan perusahaan penanaman modal asing (PMA) mendivestasikan sahamnya ke Indonesia. Sampai di tahun 2011, baru 9,36 persen saham PTFI yang sudah didivestasikan ke pemerintah.
Negosiasi alot soal divestasi berakhir ketika pemerintah membentuk holding BUMN Tambang, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Inalum disiapkan khusus untuk melakukan aksi korporasi. Mereka membeli 40 persen hak partisipasi atau participating interest Rio Tinto di tambang Grasberg dan 100 persen saham FCX di PT Indocopper Investama yang memiliki saham 9,36 persen di PTFI.
Dengan demikian, saat ini, kurang lebih 51 persen saham PT Freeport milik Indonesia. Operasi Freeport pun diperpanjang hingga 2041, setelah Kontrak Karya diganti dengan Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi (IUPK).