Awal Musim Kemarau 2019 Mulai di Bulan April
Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Herizal mengatakan, saat ini El-nino sudah berlangsung di Samudera Pasifik dengan kategori lemah, sedangkan di Samudera Hindia dalam kondisi netral.
"El-Nino kategori lemah ini ditandai oleh kondisi lebih panasnya suhu muka laut di wilayah Pasifik ekuator bagian tengah berada pada kisaran 0.5-10C di atas normalnya sejak Oktober 2018 diikuti oleh melemahnya Sirkulasi Walker (Angin Pasat Samudera Pasifik Tropis) dari kondisi normalnya," kata dia dilansir dari situs BMKG, Jumat (8/3/2019).
"Kondisi El-Nino lemah diprediksi bertahan hingga Juni-Juli 2019 dan berpeluang melemah hanya 50 persen setelah pertengahan tahun" tambah Herizal.
Dia menambahkan, tidak terdapat indikasi kejadian anomali iklim Samudera Hindia, IOD (Indian Ocean Dipole) dan diprediksi tetap dalam status netral hingga pertengahan tahun 2019.
Aktifnya El-Nino lemah diperkirakan tidak akan berdampak signifikan terhadap Sirkulasi Monsun. Kajian historis pengaruh El-Nino lemah terhadap curah hujan menunjukkan dampak yang tidak nyata terhadap sebaran curah hujan di Indonesia.
Apalagi pada saat periode Maret-April-Mei, yang mana pada umumnya dampak El-Nino tidak seragam di Indonesia, sehingga dimungkinkan pula tidak memengaruhi peralihan musim hujan menuju musim kemarau.
Sementara itu, terkait awal musim kemarau 2019, dia menambahkan, datangnya musim kemarau berkaitan erat dengan peralihan Angin Baratan (Monsun Asia) menjadi angin Timuran (Monsun Australia).
Peralihan peredaran angin monsun itu akan dimulai dari wilayah Nusa Tenggara pada Maret 2019, lalu wilayah Bali dan Jawa pada April 2019, kemudian sebagian wilayah Kalimantan dan Sulawesi pada Mei 2019 dan akhirnya Monsun Australia sepenuhnya dominan di wilayah Indonesia pada bulan Juni hingga Agustus 2019.
Mengingat El-Nino Lemah dan IOD tidak akan banyak memengaruhi peralihan musim kali ini, maka kondisi musim kemarau 2019 nanti diperkirakan akan lebih banyak dipengaruhi oleh kekuatan Monsun Australia dan gangguan cuaca berupa gelombang atmosfer tropis skala sub-musiman yaitu MJO (madden julian oscillation).
BMKG mengingatkan masyarakat perlu mewaspadai wilayah-wilayah yang akan mengalami musim kemarau lebih awal yaitu di sebagian wilayah NTT, NTB, Jawa Timur bagian Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat bagian tengah dan Selatan, sebagian Lampung, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan dan Riau, serta Kalimantan Timur dan Selatan.
Kewaspadaan dan antisipasi dini juga diperlukan untuk wilayah-wilayah yang diprediksi akan mengalami musim kemarau lebih kering dari normalnya yaitu di wilayah NTT, NTB, Bali, Jawa bagian Selatan dan Utara, sebagian Sumatera, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Merauke.
Secara umum, puncak musim kemarau 2019 diprediksi akan terjadi pada bulan Agustus-September 2019. Imbauan disampaikan kepada Institusi terkait, Pemerintah Daerah dan seluruh masyarakat untuk waspada dan bersiap terhadap kemungkinan dampak musim kemarau terutama wilayah yang rentan terhadap bencana kekeringan meteorologis, kebakaran hutan dan lahan, dan ketersediaan air bersih.