'Hantu' Juru Parkir Liar Minimarket, Pantaskah Menarik Retribusi?

Aditya Mustaqim selalu waspada jika datang ke sebuah minimarket. Uang Rp 2 ribu harus dia siapkan untuk membayar juru parkir (jukir) liar yang sudah siap mengintai. Dia keberatan, karena para jukir ini tidak punya izin menarik retribusi. Bagi Aditya, jukir liar ini layaknya hantu, datang tak dijemput pulang tak diantar.

"Parkir di minimarket itu enggak layak dipungutin (biaya)," kata Aditya saat ditemui era.id di bilangan Kota Bambu Utara, Palmerah, Jakarta Barat, Rabu (18/10/2017).

Biaya parkir itu sebetulnya tidak perlu. Soalnya, jukir tidak akan bertanggung jawab kalau kendaraan pengunjung minimarket hilang. Kerjanya juga, keluh Aditya, hanya merapihkan kendaraan yang parkir atau sekadar meniup sempritan.

"Terkadang kita cuma ambil duit doang di mesin ATM minimarket ini tetap dimintain uang parkir. Padahal kita nggak ada uang receh, masa kita harus mecahin uang besar, itu kan ribet. Kadang saat datang gak ada tukang parkir sama sekali, eh mau balik malah sok sok narik mintain uang parkir," ketus Aditya.

Namun, tidak semuanya juga mengeluh dengan keberadaan mereka. Fuad Kurniawan memilih tidak ambil pusing dengan kelakuan juru parkir liar.

"Saya tau mereka tidak memiliki izin. Saya kasih Rp 2 ribu. Bagi saya itu rezeki dia. Hidup di Jakarta sudah ribet, saya gak mau tambah ribet dengan mikirin pelanggaran yang mereka lakukan. Walau pun kadang ada jukir yang membantu ada pula jukir yang malas-malasan," beber Fuad.

Kondisi yang dialami Aditya dan Fuad bukan cerita baru di Jakarta. Jukir liar memang sering hadir di minimarket ibu kota. Hidup di Jakarta serba mahal, segalanya harus bayar. Bukan berarti ibu kota tidak memiliki UU dan peraturan. Pemprov DKI Jakarta sadar akan kondisi ini. Selain meresahkan masyarakat, Pemprov juga kehilangan potensi pendapatan.

Berkah untuk Semua

Bagi jukir liar, kehadiran minimarket bagaikan durian runtuh. Warung kelontong modern membuka peluang untuk mengisi kantong mereka. Sebut saja Yanto, jukir minimarket di Jalan Kota Bambu Utara, Palmerah, Jakarta Barat. 

Yanto selalu sigap mengatur lalu lintas. Penuh percaya diri, dia mengaku memiliki kemampuan mengatur lalu lintas dengan baik. Sebagai warga asli, Yanto berwajiban menjaga daerah kelahirannya. 

"Kalau macet saya yang mengatur di sini, bukan Satpol PP atau Hansip. Saya orang sini. Siang malam saya di sini," ujarnya. 

Selain mengurusi parkir pengunjung, dia juga mengatur lalu lintas kendaraan. Berbekal peluit dan izin dari pemilik waralaba, Yanto percaya, pekerjaannya ini tidak mengganggu warga Kota Bambu Utara. Meskipun, UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan di Pasal 43 Ayat 2 menyebutkan, profesi yang dia geluti melanggar aturan.

Fasilitas parkir hanya boleh diselenggarakan oleh orang pribadi atau badan usaha yang memiliki izin. Izin tentang penyelenggaraan parkir itu termaktub di Peraturan Pemerintah No 79 Tahun 2013 Pasal 101 Ayat 3. Sebagaimana dimaksud pada ayat (1), izin penyelenggaraan parkir diberikan oleh Gubernur DKI Jakarta.

Tak ambil pusing dengan aturan itu, Yanto bersikukuh, pekerjaannya ini halal karena sudah melalui izin pemilik usaha.

"Saya izin kok, tidak nyolong," ucap Yanto yang sudah 13 tahun menjadi tukang parkir di tempat itu.

Jalan hidup Yanto sebagai juru parkir (jukir) liar menjadi potret semrawutnya dunia perparkiran di ibu kota. Padahal, retribusi parkir menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) DKI Jakarta. Tahun 2017 Pemprov DKI menargetkan Rp 105 miliar dari retribusi parkir. Target tersebut meningkat 51 persen dari tahun sebelumnya.

Satuan Ruang Parkir

Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perparkiran Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Tiodor Sianturi mengakui, salah satu lokasi parkir yang menjadi sumber PAD Pemprov DKI adalah minimarket. Berdasarkan data Biro Perekonomian DKI Jakarta tahun 2015, terdapat 2.254 minimarket di seluruh ibu kota. Jumlah itu diprediksi terus bertambah, meskipun Pemprov DKI mengeluarkan moratorium.  

Sayangnya, kata Tiodor, tidak semua lokasi minimarket berkewajiban memenuhi aturan perparkiran. Pemilik usaha wajib melapor jika memiliki area parkir lebih dari lima SRP (Satuan Ruang Parkir) atau seluas 125 meter persegi. 

"Kalau kita lihat aturannya, kalau memiliki lebih dari lima SRP mobil, seharusnya dia (pengusaha) berkewajiban mengurus izin penyelenggaraan parkir. Nah, rata-rata parkirannya juga lebih banyak motor. Kalau mobil dia punya dua lah jadi masih di bawah ketentuan yang berlaku untuk kewajiban mempunyai izin," ujar Tiodor.

Jika tidak memiliki izin, kata Tiodor, tentunya penyelenggara parkir akan dikenai sanksi. Ketentuan lebih rinci mengenai sanksi tersebut diatur dalam Perda DKI Jakarta No 5 Tahun 2012. Sanksi yang diberikan antara lain peringatan tertulis sebanyak tiga kali, penghentian sementara kegiatan, pembatalan izin dan pencabutan izin.

"Ya kan pertama kita sifatnya persuasif. Kita sampaikan kepada pelaku usaha tersebut. Ini loh ketentuannya, kalau usaha itu usaha ini harus ada ijin penyelenggarannya," terang Tiodor.

Sedangkan aturan tentang pemungutan tarif diatur dalam Pergub No 102 Tahun 2013 Ayat 2. Izin yang dimaksud terdiri dari izin memungut biaya parkir dan izin tidak memungut biaya parkir. Sanksi bagi yang menyelenggarakan parkir tanpa izin tercantum dalam Perda No 5 Tahun 2012 Pasal 68 Ayat (1).

Setiap orang dan/atau badan hukum atau badan usaha yang menyelenggarakan parkir tidak memiliki izin dari Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1), dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1), dan dikenakan denda administratif paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).

Tiodor menegaskan, pihaknya terus mendorong adanya kolaborasi antara pengusaha minimarket dengan masyarakat di wilayah tersebut. Sebab, menurut dia, hasil kolaborasi antara keduanya mampu memberi dampak positif.

"Karena di situ kita melihat keterkaitan lah. Dia di situ memberdayakan masyarakat lokal jadi tidak harus serta merta menugaskan petugas parkir resmi dari UPT," tandasnya.

Tag: