UN Itu Penting, Tapi yang Perlu Diuji Guru Bukan Murid

Jakarta, era.id - Polemik mengenai dihapus tidaknya Ujian Nasional menjadi perdebatan pasca debat ketiga 17 Maret kemarin. Penghapusan UN muncul dari usul cawapres nomor urut 02 Sandiaga Uno. Sayangnya, dalam debat kemarin berlangsung terlalu selow--terekam di Twitter--sehingga masih banyak hal penting yang luput dari pembahasan baik itu soal UN sendiri atau dunia pendidikan secara keseluruhan.

Kalau diperhatikan kembali secara saksama, debat antara cawapres nomor urut 01 Ma'ruf Amin lawan cawapres nomor urut 02 Sandiaga Uno kemarin, hanya memaparkan gagasan dari masing-masing calon. Tidak ada perang argumen, walaupun ada hanya sesekali, itu pun bukan soal pendidikan. Tidak ada siapa mengkritisi apa. Tidak ada dialektika yang terjadi. Kurang seru kalau tidak bisa disebut 'garing'.

Salah satu pembahasan yang menjadi ramai diperbincangkan adalah UN. Memang pembahasan ini jika dilihat dari sudut pandang politik cukup popular untuk menarik simpati masyarakat, apalagi sebentar lagi para pemilih pemula menghadapi ujian yang tidak lagi menjadi penentu kelulusan tersebut. Namun sayang beribu sayang, gagasan yang tidak dikuliti habis itu masih jauh dari permasalahan inti sistem pendidikan Indonesia. 

Sejatinya, UN menurut Badan Standar Pendidikan Nasional dalam Buku Saku Ujian Nasional 2019 adalah alat untuk mengukur sejauh mana kompetensi lulusan pada mata pelajaran tertentu secara nasional. Kalau disederhanakan, UN adalah sebuah alat ukur kompetensi siswa secara nasional.

Ilustrasi (Pixabay)

Masih Pentingkah UN?

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan, UN tidak penting karena pengukuran kemampuan siswa tidak bisa diseragamkan. 

"UN itu memang enggak penting karena UN itu alat untuk mengukur siswa, siswa yang beranekaragam pakai alat ukur yang sama," ujarnya.

Jadi gini, pendapat Ubaid soal kenapa UN tidak penting itu mungkin mudah dibantah dengan argumen, 'bagaimana nanti kita bisa mengetahui sejauh mana kemampuan siswa, bagaimana mengevaluasi siswa, dan pada akhirnya bagaimana membuat kebijakan untuk membuat siswa semakin kompeten'. Sayangnya paradigma tersebut sudah usang, dan faktanya selama UN diterapkan, tidak membawa Indonesia menaiki tangga peringkat Programme for International Students Assessment (PISA) secara signifikan sampai detik ini. 

Ilustrasi (Pixabay)

Ada dua alasan kenapa cara pikir tersebut sudah usang. Pertama, kata Ubaid, kemampuan tiap siswa tidak bisa disamarakatan karena setiap anak pasti punya kekurangan dan kelebihan di bidang masing-masing. "Jadi mau ukur kualitas pendidikan di Papua, pakai kacamata Jakarta, jadi repot gitu," katanya. 

Kedua, sambung Ubaid, UN hanya fokus pada siswa, padahal faktor yang membuat murid pintar adalah soal kualitas guru. "Kenapa yang dievaluasi itu siswanya? Sementara gurunya enggak pernah dievaluasi," kata Ubaid. 

Seperti kita tahu, meskipun saat ini UN sudah tidak menjadi penentu kelulusan, tetap saja siswa harus memperoleh nilai tinggi sebagai tolok ukurnya. Di sini perlu ditegaskan bahwa memperoleh nilai bagus adalah hal yang baik pastinya. Hanya saja rasanya kurang adil apabila gurunya sendiri tidak diuji. 

Guru kurang diuji

Salah satu sistem untuk meningkatkan kompetensi guru adalah  program sertifikasi. Namun, menurut Ubaid, sertifikasi guru saat ini, hanya berdampak kesejahteraan bukan meningkatkan kualitasnya. 

"Apakah kesejahteraan yang sudah diperoleh oleh guru, berbanding lurus dengan peningkatan kualitas guru? Jawabannya enggak ada," ujar Ubaid.

Sementara itu, salah satu dimensi untuk melihat kualitas guru adalah melalui Uji Kompetensi Guru (UKG). Sayangnya dari grade 1-10, nilai rata-rata UKG nasional berada di angka 5. Lebih tepatnya, menurut data Kemendikbud yakni 53,02. Nilai tersebut masih dibawah nilai rata-rata yang ditetapkan yakni 55,0.

"Kalau kita berkaca pada gurunya yang nilainya segitu, mau ngajarin apa? Terus kok yang diuji muridnya? Ya gurunya diperbaiki dulu, kalau sudah bagus baru, bagaimana guru mengajarkan murid yang baik," tukas Ubaid.

Ilustrasi (era.id)

Belajar dari Finlandia

Dalam urusan ini, negara yang jadi rujukan sebagai negara yang punya sistem pendidikan terbaik adalah Finlandia. Peringkat PISA negara tersebut, secara rutin mengungguli sistem pendidikan negara adi daya Amerika Serikat. 

Melansir weforum.org, Finlandia adalah salah satu negara yang tidak menerapkan ujian nasional. Tidak ada tes wajib bagi siswa hingga usia 17-19 tahun. Guru-lah yang melakukan penilaian kepada siswa-siswa mereka. Penilaian itu pun bukan bahan untuk kelulusan, peringkat ataupun naik kelas, melainkan sekedar informasi untuk meningkatkan pembelajaran siswa.

Selain itu, negara itu memiliki hari sekolah yang lebih singkat, serta menerapkan sistem pendidikan yang fokus terhadap pengembangan karakter. 

Yang paling penting, di Finlandia, kualitas guru menjadi nomor wahid. Di sana, rasio perbandingan jumlah siswa yang diajar oleh guru sangat kecil yakni 12:1. Artinya setiap 12 anak diajar oleh satu guru. Dengan begitu, kesempatan anak-anak untuk berinteraksi dengan gurunya lebih besar.

Di Finlandia, profesi seorang guru adalah profesi sangat terhormat. Di sana, setiap guru harus bergelar magister. Untuk tambahan informasi, setiap guru di sana bisa memperoleh gelar master tersebut dari 8 perguruan tinggi negeri yang disubsidi oleh negara.

Hal mendasar paling penting yang membuat sistem pendidikan Finlandia tersebut berjalan karena seluruh strukturnya ada di sekitar beberapa prinsip inti. Di antaranya, Finlandia memiliki prinsip bahwa akses pendidikan yang sama bagi penduduknya dijadikan hak konstitusional. Kemudian prinsip penting lainnya, seseorang harus diizinkan memilih jalur pendidikan mereka sendiri, yang tidak berujung kepada kebuntuan.

Tag: riwayat pendidikan tri mumpuni ujian nasional