Putusan MK Buat Koalisi Lebih Dini

Your browser doesn’t support HTML5 audio
Jakarta, era.id - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. 

Artinya, partai politik atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu 2014 lalu untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres. 

Sekedar diinformasikan, tidak ada yang bisa mencalonkan capres dan cawapres sendirian. Sebab, partai pemenang Pemilu 2014, PDIP, hanya punya 18 persen suara nasional. 

Dengan begitu, partai yang terdaftar di Indonesia harus berkoalisi untuk mengusung capres dan cawapres pada pemilu 2019.

Dari fenomena ini, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyebut dinamika politik akan menggeliat lebih awal. Dia menganalisis, pembahasan koalisi parpol terjadi jauh sebelum Pemilu 2019 berlangsung

"Sekarang ini kan orang harus berkoalisi dari awal. Masalahnya koalisi enggak terjadi dari awal. Harusnya, setelah pengumuman MK berilah rakyat untuk mengetahui parpol ini akan mencalonkan siapa. Karena itu harus dibuka dari awal," ujar Fahri di Gedung DPR, Kamis (10/1/2018).

Kolega Fahri, Wakil Ketua DPR Fadli Zon, punya pendapat lain. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu berkata, meski persyaratan mencalonkan presiden sudah ada, tidak membuat dinamika politik menjadi kaku dan buru-buru. Dia menyontohkan jalannya Pilkada 2018 yang berlangsung sangat cair dan banyak perubahan di detik-detik terakhir.

"Pilkada aja bisa berubah-ubah dalam detik terakhir apa lagi pemilihan presiden. Sangat tergantung banyak faktor. Ini kan masih 15 bulan lagi," kata Fadli.

Koalisi Mengerucut

Dengan syarat ambang batas tadi, Ketua DPP PAN Yandri Susanto memprediksi akan ada tiga kubu yang akan bertarung di Pemilu. Yang paling kentara sekarang, ya baru ada dua partai. Yaitu, koalisi yang dipimpin PDIP atau Gerindra. 

Dua partai itu pun sudah punya jagoan. PDIP sudah ada kader yang dijagokan, yaitu Joko Widodo. Sedangkan, Gerindra mulai mengarahkan dukungannya kepada Prabowo Subianto.

"Petahana pasti maju dan beberapa partai sudah menyatakan sikap. Itu sudah kubu tersendiri. Nah, partai yang belum menyatakan sikap ini kan belum ketahuan arahnya," ujar Yandri.

Ditemui terpisah, Ketua Dewan Pakar Partai Golkar, Agung Laksono menilai, putusan MK ini menegaskan Pilpres bukanlah ajang coba-coba. Sehingga, partai yang tak punya dukungan nyata tidak akan bisa bertanding di gelanggang ini.

"Memang kita tidak perlu membuat arena pilpres itu ajang sekedar coba-coba tanpa ada dukungan, tanpa punya basis," ujar Agung.

Dikontak terpisah, Pengamat Politik Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing menilai, selain Jokowi dan Prabowo, Demokrat juga akan membuat poros baru.

"Kalau tiga poros sudah hampir pasti, bahkan secara kuantitatif statistik lima poros dong 100 persen bagi 20 persen jadi lima (poros) tapi tidak mungkin terjadi. karena biaya tadi  mereka tidak akan mendirikan poros untuk kalah. Ada poros Prabowo, Jokowi san boleh jadi poros baru yang dimotori oleh Partai Demokrat," ujar Emrus.

Putusan MK Abaikan Calon Lain

Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Jayabaya, Lely Arrianie, punya prediksi lain. Dia menganggap putusan MK ini akan membuat partai politik 'terpaksa' berkoalisi. Apalagi, katanya, saat ini sudah muncul dua nama yang muncul, Jokowi dan Prabowo.

"Padahal banyak banget yang mau jadi presiden kan, yang sudah mengiklankan diri lah," ujar Lely.

Karena itu, menurut Lely, kesempatan membuat poros di Pemilu 2019 hanya partai itu-itu saja, yang nongkrong di DPR. 

"Jadi ya dalam kapasitas itu mereka tergantung punya suara berapa kan, yang jelas partai-partai itu harus bergabung menurut saya," ungkap Lely.

 

Tag: