Debat Golongan Nasionalis dan Agamis dalam Merumuskan Pancasila

Jakarta, era.id - Proses penetapan Pancasila sebagai dasar negara, tidak lepas dari perdebatan agar mencapai mufakat. Pertentangan paling keras terjadi antara golongan kebangsaan dan golongan Islam.

Perumusan dasar-dasar negara atau seperti disebutkan Soekarno dalam bahasa Belanda "Philosofische grondslag" dilakukan dalam sidang BPUPKI. Tokoh Boedi Oetomo ditunjuk sebagai kaico atau ketua, yakni Radjiman Wediodiningrat. Sedangkan Raden Pandji Soeroso sebagai ketua mudanya. 

BPUPKI beranggotakan 59 orang. Mereka terdiri dari berbagai golongan yang didominasi orang Indonesia, termasuk 4 orang dari golongan China, 1 orang golongan Arab, dan 1 keturunan Belanda. 

Selain itu, ada pula tokubetu iin (anggota kehormatan), terdiri 8 orang Jepang. Namun mereka tidak punya hak bersuara seperti ditulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia VI (1984). 

Sidang BPUPKI digelar 2 kali. Pertama pada 29 Mei sampai 1 Juni dan 10-17 Juli 1945. 

Yang pertama mengutarakan rumusan asas dasar negara yakni M. Yamin. Ia memaparkan asas yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia nanti menurutnya sebanyak lima butir, yaitu, Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat.

Lalu ide dasar negara juga muncul dari sosok Mr. Soepomo. Ia mengungkapkan rumusan serupa, yang diberi nama "Dasar Negara Indonesia Merdeka”, yaitu Persatuan, Kekeluargaan, Mufakat dan Demokrasi, Musyawarah, serta Keadilan Sosial. 

Kemudian di hari terakhir, Sukarno memperkenalkan 5 sila, yang terdiri dari Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme dan Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Sampai sidang tersebut selesai, keputusan belum mencapai mufakat. Menurut Bernhard Dahm dalam Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan (1987) ada beda pendapat yang cukup tajam antara kubu nasionalis dan kubu agamis mengenai pembentukan dasar negara itu. 

Dibentuk Panitia Kecil BPUPKI

Oleh karena itu dibentuklah Panitia Sembilan atau panitia kecil dari BPUPKI sebagai cara untuk mencari jalan tengah. Mereka terdiri dari Sukarno, Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, M. Yamin, Wahid Hasjim, Abdoel Kahar Moezakir, Abikusno Tjokrosoejoso, Haji Agus Salim, dan A.A. Maramis.

Hasil sidang Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945 lahirlah rumusan dasar negara Indonesia yang dikenal sebagai Jakarta Charter atau Piagam Jakarta yang isinya:

1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya 

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab 

3. Persatuan Indonesia 

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan 

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Menurut Nannie Hudawati dkk dalam Risalah Sidang BPUPKI (1995) dalam proses mendirikan negara RI, memang terasa ada tarik menarik antara golongan kebangsaan dan golongan Islam. Di antara para anggota perumus dasar negara itu, mereka yang ingin mendirikan negara berdasarkan Islam yakni Ki Bagus Hadikusumo dan Kiai Sanusi.

Namun sikap Ki Bagus Hadikusumo dan Kiai Sanusi tidak saklek. Pada sidang kedua BPUPKI,14 dan 15 Juli 1945, mereka awalnya menyarankan agar agama Islam dijadikan dasar negara. Tapi karena sadar risiko terpecahnya negara bangsa jika usul itu dilaksanakan, maka keduanya mencabut kembali usulannya. 

Perubahan sikap ini terjadi karena tidak jelasnya arti anak kalimat pada sila pertama Pancasila yakni "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."

Mereka kemudian meminta agar anak kalimat tersebut dicoret. Menurut mereka, jika BPUPKI tidak menyetujui negara berdasar agama maka negara bersikap netral saja terhadap masalah agama tersebut.

Ditambah lagi pada saat itu Hatta lalu melobi kelompok Islam. Hatta lewat Kasman Singodimedjo membujuk Ki Bagus agar rumusan Pancasila memakai kalimat seperti yang ada sekarang, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.

Tag: pancasila