Bagaimana Kerusuhan Bawaslu Dampaki Kualitas Demokrasi Kita

Jakarta, era.id - Kerusuhan 21 22 Mei telah reda, tapi bukan berarti sudah dilupa. Pascakerusuhan, indikator demokrasi Indonesia mengalami kemunduran, dilihat dari kondisi politik dan keamanan saat ini. Jika kondisinya begini, masihkah demokrasi jadi pilihan?

Hal ini menjadi temuan lembaga survei Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) yang merilis survei terbaru soal Kondisi Demokrasi dan Ekonomi Politik Nasional Pascakerusuhan 21-22 Mei 2019. 

Melihat perbandingan temuan dari bulan April dan Juni 2019, kondisi politik yang dinilai baik mengalami kemunduran dari 36 persen ke 33 persen, yang menilai sedang juga mundur dari 34 persen ke 27 persen. 

"Maka konsisten dengan penilaian masyarakat yang menganggap kondisi politik buruk, dari 20 persen ke 33 persen," kata Direktur Program SMRC Sirojuddin Abbas dalam diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (16/6/2019).

Penurunan kondisi keamanan nasional pun demikian. Dari bulan April ke Juni, masyarakat yang menganggap kondisi keamanan baik turun dari 62 persen ke 57 persen, yang menganggap sedang stagnan di 26 persen. Sejalan, masyarakat yang menilai kondisi keamanan buruk meningkat dari 11 persen ke 16 persen. 

"Mirip juga dengan kondisi penegakan hukum yang mengalami kemunduran. Masyarakat yang menganggap penegakan hukum baik turun dari 49 persen ke 48 persen, yang menganggap sedang turun dari 28 ke 27 persen, sementara masyarakat yang menilai kondisi keamanan buruk meningkat dari 20 persen ke 21 persen.," tutur dia. 

Meski kondisi politik, keamanan, dan penegakan hukum mengalami kemunduran, tapi kondisi ekonomi masih tetap kalem, baik secara langsung dirasakan masyarakat maupun skala nasional.

Sebanyak 46 masyarakat masih meganggap kondisi ekonomi rumah tangga dalam keadaan baik, 19 menganggap lebih buruk, dan 34 menganggap tidak ada perubahan. 

Sementara pada kondisi ekonomi nasional, 43 persen masyarakat menganggap lebih baik, 18 persen menganggap lebih buruk, dan 35 persen menganggap tidak ada perubahan. 

"Mengapa kondisi ekonomi tetap terjaga? Karena pemerintah masih mampu menjaga ketersediaan bahan pokok dan daya jual beli. Ditambah, inflasi juga mengalami penurunan meskipun pelan," ungkap dia. 

Supaya kamu tahu, survei ini dilakukan dengan wawancara tatap muka pada pada warga yang berusia 17 tahun atau lebih atau yang sudah menikah dalam rentang waktu 20 Mei-1 Juni 2019. 

Metode survei menggunakan multistage random sampling dengan 1220 responden. Namun responden yang dapat diwawancarai secara valid 1078 atau 88 persen. Margin of error kurang lebih 3,05 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen. 

Demokrasi masih jadi pilihan

Meski menurun, demokrasi masih menjadi idola bagi masyarakat dibanding tata kelola negara lainnya. 

"Sebanyak 82 persen masyarakat memandang demokrasi adalah sistem pemerintahan terbaik untuk negara, meskipun tidak sempurna. Kemudian, sebanyak 5 persen masyarakat menganggap sistem demokrasi atau otoritatian tidak ada bedanya," kata Direktur Program SMRC Sirojuddin Abbas dalam diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (16/6/2019).

Selain itu, ada 3 persen masyarakat yang menganggap dalam keadaan tertentu, sistem pemerintahan bukan demokrasi maupun otoritatian bisa diterima, sementara 9 persen lainnya tidak menjawab. 

Mari lihat skor kondisi demokrasi di tiga masa pemerintahan jika kita beri skor dari angka 1 yang artinya diktator penuh, sampai angka 10 yang artinya demokrasi penuh. 

Data SMRC menunjukkan, rata-rata skor pada masa pemerintahan Soeharto berada pada 4,79, artinya masih bersifat diktator. Sementara SBY berada pada skor 7,15 dan Jokowi memiliki skor 7,37, yang artinya bersifat demokrasi.

Lebih lanjut, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menjelaskan alasan masyarakat lebih banyak memilih sistem demokrasi dibanding otoritatian saat ini. Kata dia, sistem demokrasi memang punya empat nilai lebih. 

Pertama, dia punya kemampuan untuk memulihkan diri dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang ada di dalamnya.

"Masyarakat menilai, mereka lebih takut sekarang bicara soal politik dan organisasi, tetapi saat yang sama itulah dijanjikan oleh demokrasi, bebas bicara politik dan berorganisasi," jelas Titi. 

Kedua adalah fleksibilitas, karena tidak ada demokrasi yang paling ideal yang ada itu yang cocok dan itu yang kemudian fleksibilitas itu yang ada di dalam demokrasi. Yang ketiga adalah inovasi, karena berkembang seiring dengan perkembangan informasi, media sosial. Serta yang keempat adalah adaptasi.

"Ini menjadi jawaban ketika ada pandangan terhadap kondisi kita saat ini ada penurunan tetapi tidak melemahkan penilaian atau pandangan terhadap sistem demokrasi itu sendiri," pungkasnya.