Eddy Hiarjie yang Nilai Gugatan Prabowo Rapuh
"Kuasa hukum pemohon secara kasat mata mencampuradukan antara sengketa pemilu dengan perselisihan hasil pemilu. Sehingga fundamental hukum yang dibangun oleh tim kuasa hukum pemohon terkesan rapuh," kata Prof Eddy dalam persidangan di Gedung MK, Jala Medan Merdeka Barat, Jakarta, Jumat (21/6/2019).
Hal ini diungkapkan Prof Eddy setelah melihat uraian awal pemohon dengan menunjukkan pelanggaran-pelanggaran pemilu seperti penyalahgunaan APBN dan program kerja pemerintah, ketidaknetralan aparatur negara seperti polisi dan intelijen, penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, pembatasan kebebasan media dan pers, serta diskriminasi dalam penegakkan hukum.
Kuasa hukum Prabowo (Anto/era.id)
Sehingga apabila ada kecurangan dinilai secara terstruktur dan sistematis, terlebih dalam pembuktiannya disebut berdampak masif ke perolehan suara.
"Masing-masing perkara mempunyai sifat dan karakter tersendiri yang sudah tentu didasarkan pada fakta yang berbeda pula. Judicandum est legibus non exemplis. Artinya, putusan harus dibuat berdasarkan hukum, bukan berdasarkan contoh," paparnya.
Eddy menilai pelanggaran pemilu harusnya dibawa ke Bawaslu bukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). "Berdasarkan hasil kualifikasi tersebut, Bawaslu akan mendistribusikan kasus sengketa pemilu ke DKPP, KPU, Peradilan Umum ataukah Peradilan Tata Usaha Negara."
Terhadap pertanyaan itu, Prof Eddy menyampaikan agar kubu Prabowo bisa membuktikan dalil tuduhannya. Bukan meminta pihak termohon, KPU untuk membuktikan.
"Jangan dikira pembalikan beban pembuktian lalu orang yang menuduh dia tidak perlu membuktikan, lalu orang yang dituduh harus membuktikan. Kalau demikian tidak ada bedanya tuduhan, dakwaan, fitnah, dan hoaks," lanjutnya Prof Eddy.
"Sekali lagi, kuasa hukum pemohon tidak hendak menyoal tentang hasil perhitungan suara yang merupakan kewenangan MK, tetapi justru mempersoalkan hal lain di luar kewenangan MK," tutupnya.