23 Menit Pidato, Jokowi Absen Singgung soal Hukum dan HAM
Saat memaparkan visi misinya, Jokowi tampak tegas. Sesekali dia, menunjuk atau mengibaskan tangannya. Bahkan, pelantang suara di hadapannya beberapa kali tersenggol oleh tangannya.
Pada beberapa bagian paparannya pun, suara Jokowi tampak begitu tegas. Tapi sayang, ada yang luput dari pemaparan visi dan misi tersebut. Petahana ini, ternyata tidak membahas sama sekali soal hukum dalam paparannya visi dan misinya tersebut.
Bahkan, dalam paparannya yang berdurasi sekitar 23 menit ini hanya sekali Jokowi mengucap kata hukum. "... Indonesia yang setiap warga negaranya memiliki hak yang sama di depan hukum," ujar Jokowi di hadapan pendukung dan relawannya di SICC, Sentul, Jawa Barat, Minggu (14/7/2019).
Tak adanya visi soal hukum ini, membuat Institute for Criminal Justice Reform ( ICJR) mengkritisi hal tersebut. Direktur Eksekutif ICJR, Anggara Suwahju menilai harusnya selain lima poin yang disampaikan Jokowi soal pembangunan infrastruktur, pembangunan SDM, mengundang investasi, reformasi birokrasi, dan penggunaan APBN yang fokus dan tepat sasaran, ada poin lain yang harusnya dipaparkan mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Poin yang dimaksud adalah soal pembangunan negara hukum yang juga harus jadi prioritas pemerintah lima tahun ke depan. Apalagi, pembangunan negara hukum ini sebenarnya beririsan dalam upaya membangun ekonomi dan kepastian usaha.
"ICJR mengingatkan bahwa pembangunan negara hukum sekali lagi harus menjadi agenda prioritas yang terutama bagi pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin di 2019-2024," kata Anggara kepada wartawan lewat keterangan tertulisnya, Senin (15/7/2019).
"Pembangunan Negara hukum bukan hanya bagian dari agenda kerja pemerintahan namun juga merupakan kewajiban konstitusional bagi setiap Presiden Republik Indonesia," tambahnya.
Kata Anggara, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 1 Ayat 3 pun menegaskan jika Indonesia adalah negara hukum dan aspek yang paling penting dari sebuah negara hukum adalah jaminan hak asasi manusia.
"Karena itu, semestinya presiden meletakkan pembangunan negara berdasar hukum --rule of law-- sebagai prioritas pertama pemerintahannya," tegas Anggara.
Apalagi, World Justice Project mencatat, selama empat tahun terakhir ini, skor Rule of Law Index di Indonesia cenderung stagnan kalau tak mau dikatakan turun. "Pada 2019, skor Indonesia adalah 0.52. Perolehan nilai 0,52 dari skala 0-1 menandakan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah ke depan," jelasnya.
Anggara kemudian menyebut, ICJR juga sudah mengeluarkan Laporan Penilaian Penerapan Fair Trial di tahun 2018 yang lalu dan hasilnya masih banyak yang harus diubah dan diperbaiki dari sistem peradilan pidana di Indonesia.
Laporan ini, kata Anggara, dikeluarkan dari adanya empat indikator yaitu pemenuhan hak tersangka selama proses peradilan, pemenuhan prinsip persamaan di muka hukum, pemenuhan prinsip peradilan yang kompeten, Independen, dan imparsial, serta pemenuhan prinsip pendampingan oleh penasihat hukum.
Fokus masalah ekonomi
Absennya soal hukum di dalam pidato visi dan misi Presiden Jokowi kemudian dijawab oleh Direktur Direktorat Program Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Aria Bima. Arya menyebut, pemaparan visi misi kali ini memang berfokus pada ekonomi. Tapi, dia tak menampik masalah hukum ini memang harus diselesaikan oleh pemerintahan Jokowi ke depan.
"Ini tadi kan persoalan ekonomi ya. Persoalan hukum dan HAM ini adalah persoalan, tidak hanya kita sebagai bangsa tetapi persoalan dunia. Tentu itu akan menjadi sesuatu hal yang harus dirampungkan oleh Pak Jokowi," kata Aria kepada wartawan usai acara 'Visi Indonesia' di Sentul, Minggu (15/7/2019) malam.
Dia menilai, persoalan hukum dan HAM ini memang harus jadi fokus utama buat penyelesaian kasus. Namun, pemerintahan Jokowi-Ma'ruf ke depan, kata anggota DPR RI ini bukanlah pemerintahan malaikat yang bisa segera menyelesaikan persoalan tersebut dengan segera.
Sehingga dia berharap masukan yang diberikan oleh masyarakat terkait permasalahan hukum dan HAM bisa membantu Jokowi menyelesaikan hal tersebut di masa pemerintahannya lima tahun ke depan.
"Kita tidak ingin membangun Indonesia yang berdaya saing, Indonesia yang mempunyai kompetensi dalam konteks persaingan global tapi meninggalkan persoalan HAM," tutup Aria.