Sebaran Berita Hoaks Mulai Masuk ke Media Massa
Parahnya lagi, menurut Ketua DPP PKB Abdul Kadir Karding, saat ini orang tidak hanya makin intensif menyerap informasi di media sosial. Tapi juga ikut menyebarluaskannya. Apalagi, berdasarkan data Kemenkominfo, terdapat 800 ribu situs di Indonesia yang diduga ikut menyebarkan informasi palsu.
"Total jumlah hoaks yang dikais, diidentifikasi, diverifikasi dan divalidasi oleh Kementerian Kominfo menjadi 1.731 hoaks pada periode Agustus 2018 sampai dengan April 2019," kata Karding dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (24/7/2019).
Lebih parahnya, sebaran hoaks itu, enggak cuma dilakukan oleh lewat media sosial. Ketua Dewan Pers, Yosep Stanley Adi Prasetyo menyebut, penyebaran berita hoaks juga menyasar di media massa.
Hal ini terbukti dengan makin meningkatnya pelaporan berita bohong dan hoaks hingga 100 persen pada Pilpres 2019. Sebab, di tahun 2018, total pengaduan terkait berita bohong dan hoaks ke Dewan Pers mencapai 400-an pengaduan.
Karding menilai, selama ini, pemerintah telah bekerja keras mengambil tindakan pencegahan penyebaran berita hoaks. "Pemerintah juga tidak tinggal diam. Sejumlah tindakan diambil, misalnya mendirikan BSSN, mengagregasi kerja tim cyber polisi, bahkan aktivitas Car Free Day bertema 'Antihoaks' dimanfaatkan guna meningkatkan kesadaran masyarakat," ungkapnya.
Angka pengguna internet mencapai 132,7 juta maka sebaran hoaks sebenarnya tak bisa juga dianggap enteng. Sehingga, langkah lanjutannya sangat dibutuhkan saat ini. Selain itu, tantangan yang paling serius adalah memerangi hoaks mengingat turunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada media.
Hal ini, terbukti dari survei ISEAS tahun 2017 tentang kepercayaan atas lembaga-lembaga besar, peringkat terendah ditempati partai politik 45 persen, parlemen 55 persen, pengadilan 65 persen, dan media massa 67 persen. Hanya tingkat kepercayaan terhadap kepolisian Indonesia yang mengalahkan kepercayaan terhadap media massa 70 persen.
Tingkat kepercayaan ini rendah, menurut Karding terjadi karena adanya polarisasi masyarakat yang menguat karena politik. Dalam situasi political corretness seperti saat ini masyarakat hanya ingin tahu apa yang mereka inginkan.
"Kedua, sikap partisan media terhadap politik yang disebabkan faktor pemilik. Ini menjadi tantangan bagi jurnalisme bagaimana mereka menjaga mutu independensi di tengah kepentingan pemilik media," jelas Karding.
"Ketiga, rendahnya tingkat literasi masyarakat di Indonesia. Penelitian Program for International Student Assessment (PISA) menyebut Indonesia berada pada ranking 62 dari 70 negara yang disurvei," imbuh dia.
Tapi, dengan adanya fakta tersebut, Karding menegaskan, bukan artinya peran media massa mengatasi hoaks jadi suram. Sebab, media massa tetap harus bisa memainkan perannya meredam hoaks dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan berhati-hati dalam menyampaikan informasi.
"Mengacu laporan dewan pers, media massa sudah saatnya introspeksi diri untuk tidak melulu mengejar kecepatan dalam menghadapi persaing. Tim redaksi mesti bekerja lebih ketat memeriksa fakta-fakta yang mereka dapat."