Agar Tragedi Bom Atom Hiroshima-Nagasaki Tak Terjadi Lagi
Jakarta, era.id - Tsuyoshi Yamaguchi, seorang insinyur perkapalan asal Hiroshima mungkin tak menyangka, 6 Agustus 1945 adalah hari terakhirnya bertugas. Yamaguchi jadi salah satu korban dari ledakan bom atom yang dijatuhkan pesawat tempur Amerika Serikat.
Sebagai pekerja industri perkapalan, Yamaguchi bertugas mengembangkan sebuah kapal pengangkut bagi angkatan laut Jepang. Saat itu, waktu menunjukan pukul 08.15 pagi. Ketika ia keluar dari trem 74 tahun lalu, Little Boy --nama jenis bom atom-- jatuh di daratan Hiroshima.
Besarnya ledakan hampir menewaskan Yamaguchi, padahal ia berada sekitar satu mil dari titik jatuhnya bom nuklir. Yamaguchi beruntung masih bisa sadarkan diri. Setelah siuman, ia tersadar tubuhnya sudah terlempar sekitar 30 meter dari trem dan merasakan badan sebelah kirinya terbakar.
Pakaian yang ia kenakan hangus. Kemudian, ia merasakan ada seseorang yang membalurkan minyak ke tubuhnya. Keesokan harinya, Yamaguchi mengungsi bersama ribuan orang lain. Mereka meninggalkan Hiroshima menuju Nagasaki. Dua hari setelah ledakan, 9 Agustus, Yamaguchi sudah berada di industri pembuatan kapal di Nagasaki.
Naas, ketika sedang menceritakan ledakan yang ia alami di Hiroshima, bom kedua dijatuhkan pesawat pengebom AS di Nagasaki, tak jauh dari tempatnya berada. Lagi-lagi, Yamaguchi terpelanting, tubuhnya membentur meja. Luka-luka yang sama sekali belum kering karena bom Hiroshima, kini diperparah luka yang diakibatkan bom Nagasaki.
Dampaknya, Yamaguchi harus berbaring di tempat tidur selama satu tahun. Rambutnya rontok, hidungnya terus menerus mengeluarkan darah akibat radiasi nuklir. Pada 1965, tubuh Yamaguchi mulai sembuh. Namun, melihat 200 nyawa yang meregang akibat radiasi, kesehatan Yamaguchi jelas terancam. Radiasi atom akan menggerogoti kesehatannya perlahan.
Peristiwa itu ditulis Harian Kompas pada 26 November 1965. Selain Yamaguchi, artikel tersebut juga menceritakan kisah Pater Jerman Klaus Luhmer, seorang korban lain dari ledakan Hiroshima.
Korban Hiroshima-Nagasaki (Sumber: commons.wikimedia.org)
Mencegah tragedi terulang
Peristiwa jatuhnya bom nuklir di Hiroshima dan Nagasaki adalah tragedi sekaligus peristiwa penting dalam sejarah. Kejadian itu jadi langkah pamungkas sekutu menghentikan perang dunia kedua.
Sebelumnya sekutu telah mengembangkan Proyek Manhattan yang melahirkan alat pemusnah massal yang diberi nama "Little Boy". Daya ledak bom itu setara dengan 13 kiloton TNT. Bom yang punya panjang 3 meter, diamter 71 cm, berat 4.400 kg itu menewaskan lebih dari seratus ribu orang dan meluluh lantakkan begitu banyak bangunan.
Hari ini, dalam memperingati 74 tahun peristiwa Hiroshima-Nagasaki, Walikota Hiroshima, Kazumi Matsui menekan pemerintah Jepang untuk bergabung dengan perjanjian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang melarang pengembangan senjata nuklir.
"Saya meminta pemerintah (Jepang), satu-satunya negara yang pernah mengalami serangan nuklir untuk menyetujui permintaan Hibakusha (Korban selamat) dan meratifikasi perjanjian TPNW," kata Matsui dikutip dari media Jepang mainichi.jp.
Agar perjanjian antisenjata nuklir itu berlaku, 50 negara yang disyaratkan harus meratifikasi perjanjian itu. Salah satunya adalah Jepang.
Upaya untuk menghapuskan senjata nuklir dari muka bumi semakin rumit seiring perkembangan dinamika politik internasional. Matsui keras mendesak pemerintahnya untuk meratifikasi perjanjian itu lantaran Amerika Serikat pada hari Jumat, mencabut pakta gencatan senjata nuklir dengan Rusia yang ditandatangani pada tahun 1987.
Hal ini praktis meningkatkan kekhawatiran akan perlombaan senjata pemusnah massal baru. Ditambah lagi dengan masalah mendesak lain seperti aktivitas nuklir Iran dan denuklirisasi Korea Utara. Hal itu dapat menambah ketidakpastian global terkait kesepakatan perjanjian Non-Proliferasi Nuklir, yang akan digelar musim semi mendatang.