Mengapa Kursi MPR Masih Seksi Diperebutkan?
Jakarta, era.id - Kursi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sedang jadi rebutan hampir semua partai politik (parpol) usai Pemilu 2019. Rebutan itu tak hanya terjadi di barisan parpol koalisi pendukung petahana Jokowi-Ma’ruf saat pilpres 2019, namun juga terjadi di kubu oposisi Prabowo-Sandi.
Peneliti Senior Forum Masyarakat Perduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus mengatakan, kursi MPR memang masih seksi untuk diperebutkan. Apalagi, ada wacana mengamandemen UUD 45 untuk menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Nagera (GBHN).
Namun, kata Lucius, yang semakin jelas menjadi alasan kenapa kursi MPR diperebutkan, karena ada keinginan mengamandemen UUD 45 meskipun terbatas.
“Niatnya mau masukin kembali GBHN, saya kira agenda-agenda ini yang membuat kursi MPR ini pantas diperebutkan. Kerja utama MPR itu untuk memastikan agenda-agenda itu bisa dieksekusi di periode selanjutnya,” katanya dalam diskusi di bilangan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (7/8/2019).
Selain itu, kata Lucius, fungsi MPR itu mempunyai kewenangan krusial karena bisa mengamandemen UUD, juga memproses pemberhentian atau penggantian presiden dan wakil presiden. Walaupun kewenangan itu prosesnya tak mudah tetapi tetap saja bisa dilakukan oleh MPR.
Menurut Lucius, keuntungan politik juga menjadi alasan mengapa kursi MPR menjadi rebutan di antara partai-partai politik. “Kekuasaan MPR itu tetap memberikan celah bagi MPR untuk memberikan pengaruh pada jalannya pemerintahan. Akses terhadap kekuasaan jadi lebih mudah,” tuturnya.
“Karena pimpinan MPR juga mempunyai hak protokoler yang memungkinkan ia bisa bertemu dan memberikan pengaruh pada kebijakan yang penting dan strategis,” tambahnya.
Apalagi, kata dia, dengan tugas yang minimalis dibanding pimpinan lembaga lainnya, namun pimpinan MPR mendapatkan fasilitas yang sama. Mulai dari fasilitas protokoler hingga gaji yang berbeda dari anggota MPR lainnya.
“Saya kira tetap saja menarik kursi MPR itu, ya tadi ada fasilitas yang membuat dia tampil beda dengan yang lain. Kemudian fasilitas protokoler, anggaran beda dari anggota,” jelasnya.
Gaji
Dikutip dari laman resmi kemenkeu.go.id, gaji pokok MPR sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 75 tahun 2000. Melalui aturan yang ditandatangani oleh Presiden Gus Dur itu, jelas tercantum kalau gaji pokok Ketua MPR sebesar Rp5.040.000, sedangkan wakil-wakilnya mendapatkan gaji pokok Rp4.620.000.
Selain itu, di Pasal 2 PP itu tercantum uang kehormatan yang didapatkan yaitu Rp1.750.000 apabila tidak merangkap sebagai anggota DPR.
Meski gaji pokoknya kecil, MPR mendapatkan sejumlah fasilitas yang mumpuni. Bila dilihat dari UU MD3 Pasal 58, pimpinan dan anggota MPR memiliki hak protokoler. Kemudian, di Pasal 59, pimpinan dan anggota MPR mempunyai hak keuangan dan administratif.
Selain gaji pokok yang termasuk dalam Hak Keuangan dan Administratif, mereka juga berhak mendapatkan rumah dinas, kendaraan dinas, dan fasilitas lainnya yang menunjang pekerjaannya selaku MPR.
Menurut Lucius, kerja MPR itu sangat terbatas. Bahkan, apa yang dikerjakan MPR periode ini juga tidak ada yang bisa dibanggakan, sebab tidak berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan.
“Misalnya sosialisasi empat pilar, itu pun saya harus katakan gagal. Selama ini keluarkan uang banyak untuk sosialisasi empat pilar tapi hasilnya berantakan.”
“Jadi kerja MPR itu selama ini proyek empat pilar itu mana? Lalu, sekarang ribut untuk merebut sosialisasi empat pilarnya atau berebut untuk mendapat proyek sosialisasi empat pilar.”
Kewenangan
Sementara itu, Anggota Fraksi PKB MPR, Abdul Kadir Karding mengatakan, dari sisi kewenangan MPR cukup masih sangat seksi untuk diperebutkan.
“MPR ada tugas baru menjadi motor dalam upaya melakukan sosialisasi terjadi prinsip-prinsip kebangsaan kita pancasila, empat pilar. Kalau jadi ketua MPR dapat protokoler, keren. Duduk dengan presiden, pejabat, penting untuk display komunikasi politik. Wajar kalau kursi MPR jadi seksi untuk diperebutkan,” ujarnya.
Selain itu, menurut Karding, ada gengsi politik yang akan didapat jika terpilih menjadi pimpinan MPR yang berdampak kepada calon tersebut dan partainya.
“Siapa saja yang jadi Ketua MPR akan levelnya naik. Kita lihat misal Taufiq Kiemas, sekarang Zulkifli Hasan. Itu akan bantu yang bersangkutan dan institusi jauh lebih baik. Itu kenapa MPR jadi seksi,” tuturnya.
Terkait dengan wacana dihidupkannya kembali GBHN, Karding menilai, seluruh partai politik yang ada di parlemen menyetujui dahulu. Sebab, jika tidak ada yang setuju tidak akan bisa berjalan.
Karding juga menegaskan, jika GBHN dihidupkan kembali, otomatis kewenangan MPR akan dipatuhi oleh seluruh masyarakat, termasuk Presiden. Karena itu, kata dia, jangan sampai tujuan awal berubah di tengah jalan.
“Kalau GBHN dimunculkan semua kepentingan diambil MPR. Jangan sampai amandemen terbatas jadi tak terbatas. Jadi soliditas kesepakatan bukan hanya soal kesepakatan ketua MPR, tapi agenda ke depan dalam lobi plitik,” ucapnya.
Menurut Karding, mengenai GBHN tidak bisa tiba-tiba amandemen. Sebab, harus ada kesepakatan politik di antara semua partai politik yang ada di MPR.
Sedangkan, menurut Badan Komunikasi (Bakom) Partai Gerindra, Andre Rosiade, tugas MPR harus ditambahkan lagi. Sebab, kata dia, selama ini tugas yang jelas terlihat hanya sosialisasi empat pilar.
“Kita tahu, MPR sekarang semacam EO saja. Semacam seremonnial. Sekali setahun dia sidang tanggal 16 Agustus. 17 Agustus gantian-gantian baca proklamasi baca di istana. Itu yang terjadi. Kita belum lihat dampak dan efeknya. Ke depan ada MPR harus diberi peranan lebih besar,” ucapnya.
Di sisi lain, Ketua Fraksi Golkar MPR, Agun Gunanjar Sudrasa menilai, bicara GBHN sama dengan bicara amandemen UUD 45. Karena itu, kata dia, harus ada kesepakatan diseluruh fraksi di MPR.
“Yang saya katakan itu masih belum utuh, masih ada sudut pandang yang berbeda. Secara filosofis itu penting, tapi secara regulasi aturan masih harus kita kaji lagi, tidak bisa serta merta,” jelas Agun.