Janji Bima Arya Tuntaskan Masalah GKI Yasmin Natal
Bima Arya bilang, proses terkini penyelesaian kasus sudah sampai pembentukan tim tujuh (perwakilan gereja) bersama dengan Pemerintah Kota Bogor pada tahun lalu. Mereka tengah intens berdiskusi pada pencarian solusi.
"Semua sepakat bahwa fokus pada opsi solusi, enggak lagi berdebat ke masalah hukum masa lalu. Saya optimis Natal (tahun ini) akan ada kabar baik," kata Bima Arya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (13/8/2019).
Namun, dia belum mau membicarakan strategi apa yang digunakan untuk menemui jalan terang dari masalah GKI Yasmin tersebut, termasuk opsi relokasi GKI Yasmin ke tempat lain.
"Saya enggak mau bicara fokus ke strategi, karena ini masih dalam proses komunikasi, terlalu prematur, Saya ingin menjadi satu konsep yang (bersifat) win-win solution untuk semua," ujar dia.
Kasus ini bermula pada tahun 2008, ketika Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Bogor Yusman Yopi membekukan izin pembangunan gereja tersebut melalui surat Nomor 503/208-DTKP tertanggal 14 Februari 2008.
Alasannya, ada keberatan dari forum ulama dan ormas Islam se-kota Bogor. Pihak GKI Yasmin pun menggugat surat pembekuan izin tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara hingga tingkat Mahkamah Agung. Hasilnya, MA membatalkan pencabutan izin tersebut.
Namun, pada 11 Maret 2011, Wali Kota Bogor Diani Budiarto justru menerbitkan Surat Keputusan Nomor 645.45-137 Tahun 2011 tentang Pencabutan IMB GKI Yasmin . Alasan Wali Kota Bogor tidak mau mematuhi putusan MA tersebut karena adanya pemalsuan tanda tangan oleh Munir Karta yang kala itu menjabat sebagai ketua RT.
Sebagai informasi, SETARA Institute menyatakan Surat Keputusan Walikota Bogor No. 503/367-Huk Tentang Pembatalan Surat Keputusan No.601/389-Pem Tahun 2006 Tentang Pendirian Gereja Yasmin Bogor ini masuk dalam regulasi pemerintah daerah yang tergolong diskriminatif.
"Produk-produk daerah ini sebenarnya muncul ketika paket kebiajkan otonomi daerah muncul, tetapi ada yang offside, di mana produk hukum daerah selain menjadi alat politisasi identitas, juga menjadi instrumen diskriminasi intolransi, bahkan melakukan kekerasan," ucap Ismail.
Produk hukum diskriminatif ini, kata Ismail, akan menjadi bom waktu, menyebabkan konflik sosial antar etnik, agama, dan ikatan sosio-kultural lainnya.
"Selain mengandung masalah inkonstitusionalitas, produk hukum daerah diskriminatif telah digunakan untuk melegitimasi serangkaian perilaku intoleran, mulai dari stigma sosial yang dimiliki individu, main hakim sendiri dan kekerasan yang didukung negara terhadap kelompok minoritas," pungkasnya.