Merdeka dalam Prinsip Ala Dosen Punk Fuckrun

Jakarta, era.id - Punk adalah orang-orang dengan tampilan nyentrik berwajah busuk yang hidup gelandangan. Punk mengisi hari-hari mereka dengan mengamen atau mengemis. Begitu stigma yang terbentuk selama ini. Stigma itu barangkali benar, menggambarkan punk sebagai gerakan anti-kemapanan. Tapi, punk adalah nilai, bukan gaya apalagi sekadar rupa. Muhammad Fakhran mengamalkan itu dengan baik.

Fakhran adalah seorang dosen. Ia mengajar di dua perguruan tinggi di Jakarta: Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) dan Universitas Islam 45. Meski sering menemukan benturan pemahaman dengan orang di sekitarnya, Fakhran tak gentar. Hidup sebagai pengajar tak pernah melunturkan nilai-nilai punk yang tertanam dalam dirinya.

Di dalam kelas, Fakhran turut menularkan nilai-nilai punk --yang relevan-- ke dalam kepala mahasiswanya lewat cara-cara sederhana: menanamkan nilai skeptisme. Fakhran selalu mendorong mahasiswanya untuk melakukan kritik terhadap dirinya --atau dosen lain-- sebagai pengajar dan ilmu-ilmu yang dibawa. Bagi Fakhran, mahasiswa tak boleh menganggap dosen sebagai sosok yang kebenarannya absolut.

Di luar lembaga pendidikan, Fakhran dikenal sebagai pembetot bass di sebuah band punk bernama No Slide. Selain itu, Fakhran juga aktif di sebuah komunitas punk. Di komunitas itu, ia dikenal dengan sebutan Fuckrun, anak punk dari golongan garis lurus. Di antara banyak rekan seideologi, Fakhran memang memiliki cara hidup yang terbilang beda.

Sejak SMA, Fakhran sudah mengenal punk. Saat itu, ia melihat klip video masyhur Green Day, Basket Case. Awalnya, ia menyukai punk hanya sebatas genre musik dan gaya berpakaian. Dalam wawancara dengan CNN Indonesia, Fakhran mengatakan sempat tampil dengan gaya punk, termasuk mengecat rambut dan menindik telinga, serta menempel jaket kulitnya dengan berbagai macam emblem.

Seiring berjalannya waktu, Fakhran terus mendalami nilai-nilai punk. Ia sadar, punk bukan tentang segala rupanya. Fakhran justru tenggelam lebih jauh dalam prinsip dan nilai ini. Baginya, punk adalah nilai yang amat ideal bagi dirinya. Di bangku kuliah, pendalaman itu makin jadi.

Fakhran mengikuti forum diskusi Punk Schoolars Network (PSN) yang bermarkas di Inggris sejak 2012. Perkumpulan ini berisikan para akademisi yang juga anggota punk. Dari diskusi ini, Fakhran banyak mendapatkan nilai baru tentang bagaimana menjaga eksistensi punk lewat kehidupan yang ia jalani sebagai akademisi.  

"Enggak semua yang meraka lihat dan baca soal punk itu salah. Mungkin punk enggak sesuai dengan apa yang mereka inginkan, tapi akan ada sesuatu hal yang bisa mereka banggakan nanti tentang kami," kata Fakhran.

Stigma negatif

Coba, sebelum melanjutkan artikel ini, kita introspeksi diri kita lebih dahulu. Berapa banyak dari kita yang masih merasa was-was dengan keberadaan anak-anak bergaya punk? Masihkah kita meraba keberadaan dompet di saku atau menyembunyikan ponsel di tempat yang lebih aman ketika berpapasan dengan anak-anak bergaya punk di jalanan?

Stigma buruk tentang punk masih terpelihara tengah masyarakat. Di beberapa daerah, stigma itu bahkan terasa sangat kencang. Di Yogyakarta, misalnya, sebagaimana ditulis Dhita Wahyu Candra Kirana dalam penelitian berjudul Persepsi Masyarakat Terhadap Kehidupan Anak Punk Ditinjau Dari Aspek Sosial Dan Budaya Di Yogyakarta (2016). Dita mengamini adanya pandangan buruk masyarakat terhadap anak punk. 

Menurut Dhita, ada beberapa pandangan yang terpelihara dengan sangat baik di kepala masyarakat tentang punk, yakni mengerikan, mengganggu pemandangan, pemakai narkoba, tidak bermoral, serta sampah masyarakat.

Munculnya pandangan tersebut tak lepas dari anak muda yang gagal memahami subkultur punk namun mengaku sebagai anak punk. Menurut mereka, anak punk adalah soal memakai pakaian khas punk seperti sepatu boots, ditindik, dan ditatto. Pemahaman salah ini yang mengakibatkan banyak anak punk melakukan tindakan meresahkan warga. 

Padahal gerakan punk ini terkenal karena prinsip anti-kemapanan yang ditandai dengan selera musik dan gaya busananya. Berawal di tahun 1970-an di Inggris dan Amerika Serikat, gerakan subkultur ini menjadi global dan muncul di berbagai wilayah dengan cita rasa lokal. 

Sementara itu, di Indonesia sendiri, band-band punk muncul tahun 1990-an. Mereka punya peran penting memupuk gerakan aktivisme progresif yang mendorong jatuhnya rezim Soeharto. 

Kebanyakan mereka mengadopsi ideologi-ideologi kiri seperti sosialisme dan anarkisme. Ideologi ini dengan cepat menjadi dominan dalam belantika musik lokal dengan kemunculan kolektif punk berhaluan progresif seperti Forum Anti Fasis di Bandung, dan Front Anti-Penindasan di Surabaya, Jawa Timur.