KPK Selalu Dibela, DPR yang Curiga
Pertanyaan itu dilontarkan oleh anggota dari F-PKB, Anwar Rachman dalam rapat pembahasan anggaran tahun 2020 bersama KPK dan mitra kerja Komisi III lain di gedung DPR, Senayan. Anwar mempertanyakan kehadiran ratusan orang termasuk Ketua PBNU, KH Aqil Siroj, jurnalis senior Najwa Shihab, aktivis, mahasiswa dan elemen masyarakat dengan fokus menolak capim KPK yang bermasalah untuk memimpin institusi antirasuah.
"Untuk KPK, ini yang kita pertanyakan selama ini. KPK dalam beberapa hal yang berkaitan dengan publik selalu NGO yang tampil. Apakah NGO ini dianggarkan di dalam sini atau bagaimana? Biayanya gimana itu? Ada beberapa NGO, kemudian mengerahkan dukungan massa, nah, ini kan ada anggaran. Apa dianggarkan di sini? Kalau masuk anggaran di pos apa," tanya Rahman dalam sesi Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III pada Senin (2/9/2019).
Wakil Ketua KPK, Laode M. Syarif membantah institusi yang ia pimpin telah membiayai para aktifis atau LSM tertentu untuk tampil dan membela lembaga antirasuah tersebut. Termasuk para tokoh yang hadir dan menggelar aksi di gedung Merah Putih.
Menurutnya, kehadiran Said Aqil Siradj maupun Najwa Shihab serta aktivis anti korupsi semacam ICW dan lainnya bukan karena bayaran atau dibiayai oleh KPK. Mantan pengajar di Universitas Hasanuddin itu menyebut kehadiran elemen masyarakat sipil ke KPK karena hatinya tergerak dan ingin melindungi institusi antirasuah, agar mendapat pimpinan yang bersih dan berintegritas.
"NGO yang datang ke KPK itu akibat panggilan hati, tidak dibayar satu peser pun dari duit KPK. Bahwa di KPK ada pembinaan jaringan, ada, pak. Tapi pembinaan jaringan pemerintah," kata Syarif saat menjawab pertanyaan Rahman.
Sekali pun ada banyak massa yang hadir ke gedung Merah Putih untuk menyuarakan pemikirannya terkait masalah yang ada di KPK. "Kita tidak pernah mau membayar orang untuk datang ke KPK," tegas Syarif.
Dalam rapat itu, Syarif meminta agar dukungan dari para aktivis maupun NGO serta para tokoh yang datang ke KPK untuk tidak direndahkan dengan isu demo bayaran. Ia justru menyinggung soal aksi-aksi yang kerap digelar untuk mengkritik KPK.
"Yang perlu dipertanyakan itu, yang kirim-kirim bus itu. Yang orangnya enggak tahu apa yang diomongin. Sampai 6-7 bus depan KPK. Nah, itu yang dibayar. Kalau yang lain, para tokoh bangsa jangan juga kita rendahkan," ujar dia.
Baca Juga: 20 Orang Capim KPK Lulus Profile Assessment
Masalah pembiayaan LSM/NGO anti korupsi yang kerap membuat aksi bersama KPK sampai ke telinga Indonesia Corruption Watch (ICW). Kepada era.id, koordinator ICW Adnan Topan Husodo membantah adanya kucuran dana dari KPK terkait aksi orasinya untuk lembaga antirasuah itu.
"Kalau selama ini ada yang mengatakan atau mencurigai teman-teman NGO dibiayai KPK, ya, gampang. KPK kan badan publik, ya, DPR minta saja BPK mengaudit. Jadi ketahuan kan, apa benar, ada uang KPK yang lari ke NGO," kata Adnan saat dikonfirmasi era.id melalui sambungan telepon.
Adnan justru sependapat dengan pernyataan pimpinan KPK, yang menyinggung soal oknum pendemo bayaran untuk berorasi dan mengkritik KPK "Justru yang harusnya dilihat adalah mereka yang bawa-bawa bus, datang ke KPK, teriak-teriak enggak jelas itu siapa yang bayarin," tegasnya.
Secara tegas, Adnan merasa jika DPR terlalu khawatir dengan keberadaan LSM/NGO yang membela KPK disaat sedang mencari calon pemimpin baru untuk lembaga antirasuah tersebut. "Itu yang kemudian kita baca, kok pertanyaannya seperti itu? Apa sih yang diresahkan? Kan memilih orang yang benar," ungkap Adnan.
"Kalau mereka resah, mereka bawa kepentingan apa (terkait capim KPK)? Itu kan yang jadi pertanyaan," tutupnya.
Sejumlah aktivis dan LSM anti korupsi mengkritisi hasil seleksi calon pimpinan baru KPK, yang dapat membuka kembali konflik 'Cicak VS Buaya'. Dikarenakan, adanya calon bermasalah disejumlah persyaratan ingin dimasukan ke dalam KPK berasal dari kepolisian.
Dua capim KPK dari institusi kepolisian yang paling disorot adalah Irjen (Pol) Firli Bahuri dan Irjen (Pol) Antam Novambar. Keduanya sama-sama tercatat tak patuh terhadap pelaporan harta kekayaan. Keduanya juga punya rekam jejak bermasalah.
Istilah 'Cicak vs Buaya' diciptakan oleh mantan Kabareskrim Komjen (Pol) Susno Duadji. Susno menggambarkan KPK sebagai cicak yang coba melawan dominasi institusi Polri yang besar seperti buaya.
Harapan terakhir untuk memecahkan masalah cicak vs buaya ini, berada di pundak Presiden Joko Widodo. Sebab Jokowi yang akan memeriksa untuk terakhir kalinya nama-nama capim KPK setelah diseleksi oleh tim pansel, yang kemudian diserahkan ke Komisi III DPR untuk dilakukan uji kepatutan serta kelayakan.
"Kami meminta Presiden Jokowi untuk mendengarkan masukan publik sebelum menentukan 10 nama kandidat. Presiden perlu menyaring ulang calon pimpinan hasil pansel dengan mempertimbangkan rekam jejak kandidat," kata perwakilan koalisi masyarakat sipil antikorupsi melalui keterangan tertulisnya seperti dinukil dari Antara.