Menanti Ujung Polemik RUU Ekstradisi di Hongkong

Jakarta, era.id - Pemimpin Hongkong Carrie Lam mencabut rancangan undang-undang (RUU) yang memungkinkan ekstradisi kriminal ke China. RUU ini jadi musabab terjadinya aksi demonstrasi di negara tersebut beberapa bulan terakhir. Ribuan orang ditangkap dan banyak orang jadi korban kekerasan dari aksi demonstrasi itu.

Para demonstran menuntut lima hal. Di antaranya, pencabutan RUU ekstradisi secara permanen, penyelidikan independen terhadap taktik kepolisian dalam bentrokan yang memicu korban luka, menuntut pengampunan untuk demonstran yang ditangkap, menghapus penggunaan istilah 'rusuh' untuk menyebut unjuk rasa, dan menggelar pemilu yang sepenuhnya demokratis. 

Dilansir Channel News Asia, Lam memberikan empat penawaran dari tuntutan massa ini. Yaitu, pemerintah Hongkong akan secara resmi mencabut RUU ekstradisi demi sepenuhnya menenangkan kekhawatiran publik. 

Kedua, pemerintah Hongkong akan sepenuhnya mendukung kinerja Dewan Pelaporan Polisi Independen (IPCC) yang bertugas menyelidiki pelaporan soal tindakan dan aksi polisi dalam menangani unjuk rasa. 

Ketiga, Lam akan melakukan dialog dengan semua lapisan masyarakat, dengan sikap dan latar belakang berbeda untuk saling berbagi pandangan dan menyuarakan keluhan mereka.

Terakhir, Lam akan mengundang tokoh masyarakat, kalangan profesional dan akademisi untuk secara independen memeriksa dan mengkaji persoalan-persoalan mendalam yang ada di dalam masyarakat dan untuk menyarankan pemerintah soal solusi yang harus dicari. 

Namun, keputusan Lam ini dianggap terlambat oleh sejumlah orang. Di antaranya, tokoh pro-demokrasi Joshua Wong, yang diungkapkan dalam statusnya di Facebooknya.

"Sudah terlambat," tulis Wong.

Dia meminta semua pihak tidak tertipu dengan taktik yang dilakukan pemerintah Hongkong maupun China daratan terkait masalah ini. Menurutnya, warga Hongkong berhak mendapatkan hak pilih universalnya dalam memilih pemerintahnya.

"Tekad dan keberanian kami untuk memperjuangkan kebebasan akan terus berlanjut," ujar aktivis berusia 22 tahun ini.

Tag: politik internasional