Seperti Alien, Dewan Pengawas KPK Datang dari Luar Angkasa
"Ini makhluk apa lagi dewan pengawas itu, ini semacam mahkluk yang turun dari luar angkasa. Karena sebenarnya filosofi dan semangat pengawasan yang ketat agar tidak terjadi abuse of power dari pegawai atau pimpinan KPK sudah tercantum dalam SOP," kata mantan ketua KPK Abraham Samad dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (7/9/2019).
Abraham mengungkapkan, saat ini KPK sudah punya sistem pengawasan internal lewat Direktorat Pengawasan Internal (PI). Direktorat ini, kata dia, sudah punya sistem prosedur untuk mendeteksi dan menindak dugaan pelanggaran di internal termasuk telah menerapkan prosedur zero tolerance terhadap seluruh pelanggar kode etik internal, tidak terkecuali pimpinan.
Dengan kehadiran dewan pengawas maka, akan melumpuhkan sistem kolektif kolegial lima pimpinan KPK saat mengambil keputusan. Termasuk persetujuan untuk melakukan penyadapan dan OTT. "Tampaknya perumus naskah revisi Undang-undang KPK tidak mengetahui SOP penyidikan, termasuk penyadapan di KPK," lanjutnya.
Berkaca dari hal tersebut maka Dewan Pengawas yang ditentukan DPR itu seharusnya tak diperlukan. Apalagi, pembentukan dewan pengawas ini hanya akan memperpanjang jalur administrasi dan birokrasi di KPK.
Apalagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 'diam-diam' telah menyetujui draf rancangan perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) pada 3 September lalu.
Saat rapat itu pula, semua fraksi langsung menyetujui tanpa adanya penyampaian pandangan masing-masing fraksi secara terbuka, dan hanya diberikan secara tertulis saja kepada pimpinan Rapat Paripurna. Presiden Joko Widodo bahkan mengatakan kalau revisi UU KPK merupakan inisatif DPR.
Sejumlah poin krusial dalam rancangan UU KPK yang telah beredar, antara lain keberadaan dewan pengawas, aturan penyadapan, kewenangan surat penghentian penyidikan perkara (SP3), dan status pegawai KPK.
Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan yang datang dalam diskusi itu membatah kalau revisi UU Nomor 30/2002 datang sebagai bentuk pelemahan KPK. Ia minta seluruh pihak membaca lebih cermat poin-poin dalam RUU tersebut.
"Dikatakan melemahkan, apa iya DPR gila. Dalam perspektif apa DPR mau melemahkan, baca dulu saya bilang, bagian mana yang dikatakan melemahkan. Semua masih eksisting, bahkan dilakukan penguatan," kata Arteria Dahlan di diskusi polemik "KPK adalah Koentji".
Arteria menjelaskan soal usulan dewan pengawas, yang menurutnya merupakan usulan KPK sendiri. Sehingga bukan merupakan operasi senyap DPR untuk mengusulkan revisi tentang KPK, karena sudah masuk sejak November 2015.
"Kemudian pembentukan dewan pengawas. ini nama dewan pengawas KPK diksi yang pertama yang inisiasi mereka. Karena DPR maunya, cukup dengan Ketua Pengadilan Negeri. Contohnya, Ketua PN Jakarta Pusat, melimpah itu pemohonan untuk memohon izin penyadapan, menyita, pernah nggak bocor? Percayalah sama hakim, hakim juga bisa jaga kepercayaan, tapi okelah karena nggak mau pakai hakim, kami buat," tuturnya.