Kado Spesial yang Dinanti-nanti Koruptor
Setidaknya ada tiga pasal mengenai pidana dan denda bagi koruptor yang bobot hukumannya lebih ringan ketimbang pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Berdasarkan draft RKUHP per tanggal 28 Agustus 2019, hukuman yang meringankan koruptor terdapat dalam Pasal 604,605 sampai 607 RKUHP. Pasal 604 RKUHP misalnya, mengenai perbuatan memperkaya diri serta merugikan keuangan negara berisi ancaman hukuman pidana selama dua tahun penjara.
Sungguh berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor. Berikut ini bunyi selengkapnya:
"Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar," kutip era.id dari UU Tipikor.
Begitu pula dengan ketentuan dendanya, dalam Buku I RUU KUHP, disebutkan kategori II adalah denda maksimal Rp10 juta. Hal ini jelas berbeda dengan Pasal 3 UU Tipikor tentang penyalahgunaan wewenang dan merugikan keuangan negara, sanksi dendanya sekitar Rp50juta.
Sampai-sampai, ancaman hukuman pidana mati ke koruptor hilang dari draft RKUHP yang disusun DPR. Padahal, dalam UU Tipikor saat ini, hukuman mati bisa saja dijatuhkan ke terdakwa korupsi dalam hal tindak pidana korupsi.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (dok Pribadi)
Peneliti Indonesia Legal Rountable (ILR) Erwin Natosmal Oemar mengatakan, mereformasi KUHP tidak bisa dengan satu pandangan kalau UU Pidana saat ini merupakan peninggalan zaman kolonialisme. Bahkan bisa jadi RKUHP yang akan disahkan DPR bakal lebih kejam dari KUHP sebelumnya.
“Jadi saya melihat bahwa RKUHP ini akan lebih menjadi boomerang daripada menjadi solusi dalam mereformasi hukum di Indonesia,” ucap Erwin, ketika dihubungi era.id.
Hal senada juga disampaikan Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, dirinya menilai nafas penindakan dari korupsi yang sejatinya merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) akan berubah dan menjadi kejahatan biasa (ordinary crimes) ketika pasal-pasal itu tetap masuk ke dalam RKUHP.
Sebab kejahatan luar biasa yang diatur hukum pidana, antara lain korupsi hingga terorisme dan sudah diatur dalam undang-undang khusus. Sehingga demikian, jika pasal-pasal dalam UU yang khusus mengatur kejahatan luar biasa masuk dalam RKUHP, maka tingkat keseriusan dan bobot kejahatannya tentu akan berkurang drastis.
"Pengaturan secara rinci korupsi sampai terorisme sudah ada di UU khusus. Jadi dengan memasukkan ke KUHP, maka itu akan menjadi tindak pidana biasa. Nah, kita keberatan pada itu," kata Fickar dalam pesan singkatnya.
Rasanya agak disayangkan, hukuman khusus bagi koruptor malah dimasukkan dalam RKUHP. Itu artinya pemerintah dengan sengaja lalai mengakomodir suara masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Perundangan, secara khusus KUHP.
Foto saat pembahasan RUU KPK (Mery/era.id)
Apalagi pernyataan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, yang begitu saja mempersilahkan masyarakat untuk menempuh jalur hukum melalui Judicial Review di Mahkamah Konsitusi (MK). Bila tidak sepakat dengan rumusan RKUHP.
"Itu mekanisme konstitusional. Negara kita adalah negara hukum. Kalau dirasa bertentangan dengan UUD 1945 silakan ajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Kalau ini kan belum diketok di rapat paripurna, tapi overall sudah disepakati bersama, tinggal penjadwalan,” ucap Yasonna di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (18/9).
Secara singkat diskursus, rancangan KUHP telah bergulir sejak pemerintahan Presiden Sukarno, namun tetap belum bisa dirampungkan. Hingga akhirnya pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo, RKUPH kembali mencuat ke publik untuk segera dirampungkan.
Proses perdebatan panjang RKUHP selama 50 tahun ini disebutkan oleh Ketua Umum DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Luhut MP Pangaribuan. Dia pun berharap RUU KUHP bisa disahkan DPR RI sebelum pergantian masa jabatan legislator 2014-2019 ke periode selanjutnya.
"Kalau ditunda dilemanya nanti DPR yang akan datang mengulang lagi dari awal, dan belum tentu akan jadi disahkan," kata Luhut MP Pangaribuan di Jakarta sebagaimana dilansir Antara.
Konsep KUHP Nasional bahkan sudah dibuat sejak 50 tahun yang lalu dan sampai sekarang belum juga menjadi perundang-undangan. KUHP yang selama ini berlaku di Indonesia merupakan peninggalan kolonial Belanda atau nama aslinya adalah Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie yang berlaku berdasarkan Staatsblad 1915:732.
Kini Komisi III DPR dan pemerintah, dalam hal ini Kemenkum HAM akhirnya mencapai kata sepakat terkait RUU KUHP. Pengesahann KUHP itu akan dilakukan saat pengambil keputusan di sidang paripurna dalam dekat.