Perang dan Minyak Jadi Awal Berdirinya Kerajaan Arab Saudi

Jakarta, era.id - Tepat 87 tahun lalu, kerajaan Arab Saudi berdiri. Di mana Abdul Aziz bin Abdul Rahman Al Saud, seorang keturunan Muhammad ibn Saud berhasil menyatukan dua Kerajaan Hijaz dan Kerajaan Najd menjadi satu kerajaan besar. 

Perjalanan Abdul Aziz bin Abdul Rahman Al Saud untuk menyatukan dua kerajaan tidaklah mudah. Satu provinsi demi provinsi yang ada di daratan Arab itu ditaklukkannya, sampai pada akhirnya mereka berhasil merebut kembali Kota Mekah, yang diikuti Kota Madinah dari suku Quraisy. 

Perjuangan Abdul Aziz bin Abdul Rahman Al Saud, bersama para Ikhwan atau pejuang di jazirah Arab membuahkan hasil. Sekembalinya dua kota terpenting bagi umat Islam itu pun menjadi kekuatan Abdul Aziz untuk menyatukan daratan Arab Saudi.  

Setelah berhasil menyatukan Semenanjung Arab dalam satu kerajaan besar, Abdul Aziz bin Abdul Rahman Al Saud menduduki kursi kepemimpinan dan memimpin Kerajaan Arab Saudi, sejak 23 September 1932. Tanggal itu pun diperingati sebagai Hari Nasional Saudi.

Kedekatan Dengan Amerika

Satu tahun setelah berdirinya Arab Saudi, negara itu kemudian membangun hubungan diplomatik. Salah satu negara yang datang pertama kali ke Arab Saudi adalah Amerika Serikat (AS).

Menukil dari situs Frontline, kedatangan Amerika serikat ke Arab Saudi karena tertarik dengan sumber daya alam milik negara timur tengah itu. Amerika pun rela membayar 170.000 dolar AS (sekitar Rp2 miliar) dalam bentuk emas untuk membuka konsesi lahan minyak di Arab Saudi.

Setelah mengetahui kondisi sumber daya alam yang melimpah, Raja Abdul Aziz bin Abdul Rahman Al Saud, mengundang perusahaan-perusahaan minyak AS untuk mulai mengembangkan sumber daya minyak Saudi. Konsorsium pertama perusahaan minyak dan pemerintah Saudi pun dibentuk, yang ditandai dengan lahirnya Perusahaan Minyak Arab-Amerika (Aramco).

Minyak merupakan salah satu sumber daya alam paling penting yang berhasil dimiliki oleh Arab Saudi, hal itu pula yang membuat itu jadi negeri makmur dan kaya raya. Apalagi kondisi perang pasifik yang saat itu masih berkecamuk, sehingga kebutuhan minyak mentah sangat dibutuhkan sejumlah negara untuk menopang peperangan. 

Demi menjaga hubungan bilateral kedua negara, Raja Abdul Aziz bin Abdul Rahman Al Saud pun memberikan jaminan kepada Franklin Roosevelt selaku Presiden AS saat itu untuk bisa mengakses minyak yang ada di tanah Arab Saudi. Dengan syarat, AS wajib memberikan bantuan keamanan dan pelatihan militer ke Arab Saudi, serta membangun pangkalan militer di Dhahran.

80 tahun berselang, janji AS untuk menjaga dan memberikan keamanan pada Arab Saudi. Di mana kilang minyak Aramco diserang oleh dua rudal penjelajah jarak jauh dan drone yang dilakukan oleh militer Teheran, Iran.

 

AS melalui Menteri Luar Negeri Mike Pompeo pun menawarkan solusi atas serangan yang terjadi di pabrik minyak Arab Saudi, Aramco. Di mana dirinya menegaskan AS bakal mengambil sikap 'perang habis-habisan' dalam membalas serangan. 

Di sisi lain, Presiden AS Donald Trump juga telah mengumumkan sanksi baru terhadap Iran pascaserangan yang terjadi di kilang minyak Aramco. Sanksi baru yang dijatuhkan Washington terhadap Teheran lebih kepada sanksi ekonomi di mana kali ini akan menyasar bank sentral Iran.

"Kami baru saja menjatuhkan sanksi kepada bank nasional Iran. Ini adalah sanksi tertinggi yang pernah dijatuhkan terhadap suatu negara," kata Trump kepada wartawan di Ruang Oval, Jumat (20/9).

Insiden serangan yang menyasar dua instalasi kilang minyak Arab Saudi pada akhir pekan lalu telah memberikan pukulan berat terhadap produksi minyak negara itu. Kelompok pemberontak Yaman, Houthi, yang didukung Iran, telah mengklaim serangan tersebut. Namun, AS dan Arab Saudi menolak klaim itu dengan menyebut bahwa Iran berperan dalam serangan.

 

Tag: perubahan arab saudi