Puan Mengemban Harapan Perempuan
Begitu percaya diri Puan menjalani jumpa pers pertamanya sebagai ketua para legislator. Ia tampak bangga menjadi perempuan pertama yang duduk di kursi tertinggi DPR. Pilihan kata 'pecah telor' itu kian menggambarkan perasaannya yang sensasional.
"Saya berharap bisa membuat inspirasi, inspiratif bagi perempuan-perempuan Indonesia," lanjutnya.
Tapi Puan punya beban. Sebagai legislator, dia mengemban harapan masyarakat, khususnya banyak perempuan, untuk membuat produk legislasi yang dapat terlibat secara detail pada kasus-kasus kekerasan seksual. Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual salah satunya.
Baca Juga : RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, yang Gagal Disahkan DPR
Pengambilan sumpah jabatan pimpinan DPR (Anto/era.id)
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan sempat menyebut, ada tiga perempuan yang mengalami kekerasan setiap dua jam. Tapi Rancangan UU PKS sampai saat ini masih terkatung-katung di DPR dan tak kunjung disahkan.
Puan mengklaim, UU itu akan menjadi salah satu prioritas DPR di masa kerjanya. "Tentu saja itu akan jadi prioritas Prolegnas (Program Legislasi Nasional) ke depan, namun tentu saja mekanisme dan tata cara akan kami lakukan dalam tata tertib yang akan datang," kata Puan.
Ide pembuatan Rancangan UU PKS lahir dari kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat. Pada 2016, misalnya, ada kasus mengerikan di Rejang Lebong, Bengkulu, yang menimpa seseorang bernama Yuyun. Yuyun tewas dengan tangan terikat. Luka lebam menyembul dari wajahnya. Ia kehilangan nyawa dan polisi menemukan 14 orang terlibat dalam peristiwa sadis itu.
Itu salah satu kasus yang membuat Presiden Joko Widodo mengambil keputusan. Di tahun yang sama, Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Kekerasan Seksual terhadap Anak Nomor 1 Tahun 2016, tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Menurut Komisioner Komnas Perempuan Azriana, negara ini perlu segera mengesahkan UU PKS itu. Ada semacam kondisi darurat yang mengharuskannya.
"Tahun 2012, kita sudah sampaikan ke publik. Dalam 10 tahun, 2001 sampai 2011, ternyata di Indonesia itu setiap hari ada 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual," katanya dilansir dari Tempo.com.
Ia melanjutkan, Komnas Perempuan telah menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual pada 2014. Lembaga itu mencatat, ada 4.475 kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak perempuan pada 2014. Angkat itu meningkat pada 2015 menjadi 6.499 kasus, dan menjadi 5.785 kasus di 2016.
Baca Juga : RUU PKS Sisakan Masalah Bagi Perempuan Disabilitas
Komnas Perempuan memandang, Rancangan UU PKS sangat penting. Dalam draf UU tersebut, Pasal 1 menyebutkan, "Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik".
Cakupan tindak pidana kekerasan seksual tertuang dalam Pasal 11 sampai Pasal 20. Pasal 11 ayat (1) menyatakan kekerasan seksual terdiri dari, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Inilah hal-hal yang tidak terakomodir oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Tapi dalam perjalanannya, pembahasan Rancangan UU PKS tidak kunjung usai karena termakan kontroversi. Dalam gedung parlemen, ada fraksi yang tidak setuju dengan aturan itu.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), misalnya, menilai Rancangan UU PKS tidak sesuai dengan nilai-nilai agama. Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nurwahid menyatakan, sejak awal, partainya mengusulkan perbaikan dalam Rancangan UU tersebut. Ia meminta memasukkan pertimbangan dengan dasar nilai agama di dalam aturan tersebut.
Baca Juga : Membaca Proses Politik Pembahasan RUU P-KS di DPR
"Dalam konteks negara, ditegaskan bahwa dalam UUD Pasal 29 ditegaskan, negara itu berdasarkan kepada Ketuhanan yang Maha Esa atau kepada nilai agama. Harusnya itu yang jadi rujukan utama," kata Hidayat dilansir dari Kompas.com.
Ketua fraksi PKS Jazuli Juwaini menilai ketentuan mengenai definisi kekerasan seksual dan cakupan tindak pidana kekerasan seksual didominasi dengan perspektif liberal. Karena itu, tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya ketimuran. Jazuli memandang, Rancangan UU PKS menciptakan budaya permisif atas perilaku seks bebas dan perzinahan.
Dengan kondisi darurat kekerasan seksual serta kontroversi pembahasan Rancangan UU PKS, para legislator baru harus bisa mencari jalan tengahnya. Di bawah kepemimpinan Puan Maharani sebagai Ketua DPR pertama dari kaum hawa, para perempuan yang rentan mengalami kekerasan seksual menaruh harapan.
Puan tak cukup sekadar mengutarakan klaim akan memprioritaskan Rancangan UU PKS. Berasal dari partai yang berkuasa, ia mestinya bisa menyelesaikan permasalahan tersebut.
Infografik (Ilham/era.id)