Pemerintah Disebut Bayar Buzzer, Benarkah?
Penelitian itu mengungkap bagaimana siber menggunakan media sosial, untuk menentang disinformasi yang bisa memanipulasi opini publik. Disebutkan, pasukan siber di berbagai negara termasuk Indonesia, beraksi di media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram, dan media berbagi pesan WhatsApp.
Menurut Studi Oxford, JIKA ditelaah Dari kemampuannya, Pasukan siber Indonesia Hanya MENGGUNAKAN tim Kapasitas randah ( Low Cyber Pasukan Kapasitassiber yang dikelompokkan dalam penelitian ini, yaitu tim berkapasitas minimal, rendah, sedang, dan tinggi. Tim kecil ini hanya dilibatkan dalam masa tertentu seperti kampanye atau pemilu dengan bayaran 1 hingga 50 juta rupiah.
Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko membantah kantornya mengomandani misi siber pendukung Presiden Jokowi di media sosial untuk menyerang lawan politik. "Tidak, tidak. Justru kami KSP yang mengimbau 'kita tidak harus lagi seperti itu'," katanya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis kemarin.
Mantan panglima TNI ini sependapat jika para buzzer di media sosial perlu ditertibkan. Namun hal ini berlaku untuk semua pihak, bukan hanya untuk buzzer pemerintah. "Saya pikir memang perlu," ucap Moeldoko.
Baca Juga: Mengukur Efektivitas Buzzer Menggiring Opini Publik
Lalu benarkah pemerintah menggunakan pasukan siber? Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dipahami memakai jasa Drone Emprit dan Media Kernel Indonesia guna memanfaatkan dan menganalisa percakapan di dunia maya. Pendiri Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi membenarkan jika perusahaannya digunakan oleh pemerintah sebagai alat ( alat ) pemantauan dan penganalisa data.
"Memang kita membeli sama Kominfo, sama yang lain juga, sebagai teknologi sistem. Membantu pemerintah untuk mengumpulkan percakapan di akun-akun, situs yang di sharedi twitter, situs terkait dengan pornografi, perjudian, dan lainnya. Itu bisa digunakan dalam berbagai macam isu, "katanya kepada era.id, kemarin.
Ia menjelaskan, jika Drone Emprit tidak membuat alat propaganda, hanya menyediakan pemantauan dan menganalisis melalui percakapan warganet." Jika alat propaganda itu untuk membuat bot , untuk mengirim pesan. Jika kami membantu pemantauan , "jelasnya.
Pakar analisis media dari Universitas Islam Indonesia (UII) ini mengatakan jika menggunakan buzzerJuga efektif untuk meredam opini yang negatif terhadap suatu isu, sementara juga bisa digunakan untuk hal yang positif. "Kadang juga ada yang efektif mengeluarkan program pemerintah misalnya pembangunan jalan tol. Jadi publik tahu. Tergantung mau pakai apa," ucapnya.
Direktur Eksekutif Lima Strategi Politik dan Komunikasi, Andi Anggana mengungkapkan pemerintah harus mempunyai saluran resmi dalam upaya pengembangan isu dan melakukan komunikasi ke publik. "Dapat melalui beberapa staf khusus yang ahli komunikasi di sana, hanya saja tidak dapat disebut sebagai buzzer atau pendengung," katanya saat dihubungi.
Ditengah ISU buzzer menurut Andi, masyarakat masih bisa berharap pada media massa yang mengkomunikasikan informasi yang bisa mempercayai dan membebaskan dari polarisasi isu yang dibingkai kelompok khusus untuk kepentingannya sendiri.
"Media massa adalah pilar demokrasi yang dapat menetralisir isu yang belum dipastikan kebenarannya. Karena itu, membaca media yang beragam, sangat penting, untuk mengkaji isu yang terjadi saat ini ditengah polarisasi isu," sambungnya.
Konsultan politik ini juga menambahkan pemerintah harus punya juru bicara agar informasi yang diberikan kepada publik tidak bias dan sebaliknya malah membuat diskusi negatif jika dikemas dengan tidak baik. "Saluran publik dapat dibuat melalui juru bicara, "ucapnya.