Segala Post Truth dalam Kebijakan Anies di DKI
Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio melihat Anies menggunakan metode post truth dalam mengambil keputusan atas sejumlah kebijakan yang ia ambil.
Artinya, kondisi di mana fakta tak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Kesalahan yang dinarasikan berulang-ulang akan diyakini publik sebagai kebenaran. Begitu kira-kira gambaran post truth dalam hal ini.
"Anies itu pakai metode post truth. Dia enggak mikir aturan seperti apa. Tabrak saja aturannya. Menurut dia, yang penting bermanfaat bagi masyarakat. Dibikin keperluannya, lalu aturannya tinggal direvisi," kata Agus dalam diskusi di Populi Center, Jakarta Barat, Senin (14/10/2019).
Anies Baswedan (Instagram/AniesBaswedan)
Apa saja kebijakannya?
Post truth ini digunakan Anies dalam beberapa kebijakan. Pertama, soal rencana Anies menata PKL di sejumlah trotoar. Pengamat tata kota, Nirwono Yoga mengomentari hal ini.
Alih-alih melakukan pembenahan, Nirwono mengatakan, Anies justru menabrak aturan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) dengan berpegang kepada Peraturan Menteri PUPR Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Pedoman Perencanaan Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan.
Padahal, menurut Nirwono, Anies mestinya mengikuti aturan yang kedudukannya lebih tinggi, yaitu UU. Dengan begitu, keputusan Anies mencari celah aturan lain justru menimbulkan polemik baru.
"Informasi terbaru, justru Menteri PUPR Basuki akan merevisi Permen tersebut supaya tidak digunakan trotoar untuk PKL. Pak Basuki sudah mengatakan bahwa trotoar bukan untuk PKL," kata Nirwono.
"Menurut UU yang paling tinggi itu harus dikembalikan fungsinya untuk pejalan kaki, bukan malah mencari celah dengan melakukan negoisasi penempatan trotoar," lanjut dia.
Kedua, soal reklamasi. Dengan mengubah frasa pulau reklamasi menjadi pantai, Anies menghilangkan kontribusi nilai jual objek pajak kepada pengembang sebesar 15 persen yang direncanakan mantan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama.
Anies Baswedan (Istimewa)
Yang menjadi polemik baru, Anies akan merevisi Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) atas perubahan frasa pulau menjadi bagian dari daratan Pantai Utara.
Padahal, Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta sampai saat ini belum dibuat. Meskipun, Anies telah menerbitkan izin mendirikan bangunan (IMB) pada 932 bangunan di Pulau D reklamasi di pesisir Jakarta.
"Harusnya, sebelum izin IMB keluar, Raperda harus dijadwalkan, dua Raperda dikejar. Gitu, ya supaya proses selanjutnya jelas. Publik juga belum dapat gambaran master plan dari pulau itu mau dibuat seperti apa," kata Nirwono.
Ketiga, penataan Kampung Akuarium. Setelah digusur oleh Ahok beberapa tahun lalu, Anies berencana membangun 142 unit rumah berlapis di kawasan ini. Masalahnya, dalam RDTR, Kampung Akuarium merupakan zona hijau dan zona pemerintahan.
Artinya, Pemprov DKI tidak boleh membuat bangunan pemukiman bangunan di daerah itu, baik rumah lapis maupun rumah susun.
"Tapi ini pemahamannya dibelokkan. Pembelaan pemprov, karena itu zona pemerintah, maka boleh dibuat rumah lapis. Padahal, yang dimaksud dengan zona pemerintahan adalah bangunan yang boleh dibangun adalah bangunan yang terkait dengan pemerintahan," jelas Nirwono.
Sikap Anies ini, kata Nirwono, tentu akan menimbulkan efek domino terhadap kota-kota lain. "Contoh, begitu PKL dilegalkan di trotoar, maka ini akan jadi pintu masuk untuk dicontoh di kota lain, padahal ini kan melanggar UU," tutup dia.