Hujan Kritik untuk Dua Tahun Kepemimpinan Anies Baswedan

Your browser doesn’t support HTML5 audio

Jakarta, era.id - Program kerja selama dua tahun kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang jatuh pada 16 Oktober 2019 tak sepenuhnya mulus. Beberapa kebijakan dan keputusan Anies masih dihujani kritik dari sejumlah anggota DPRD, baik dari partai oposisi maupun partai pengusung Anies di Pilgub DKI 2017 lalu.

Anggota fraksi PKS DPRD DKI, Abdurrahman Suhaimi memberi catatan kritis soal program Rumah DP 0 Rupiah. Dalam dua tahun terakhir, dia mengatakan, Anies baru mampu membangun 780 unit rumah susun dari total 50 ribu unit yang dijanjikan saat masa kampanye.

Suhaimi juga mengkritik biaya cicilan bagi warga DKI untuk mendapatkan rumah DP 0 selama batas waktu 30 tahun. Dalam persyaratannya, pemilik rumah harus memiliki penghasilan Rp4 juta sampai Rp7 juta setiap bulannya. Padahal, dulu Anies menggembar-gemborkan, rumah ini diperuntukkan oleh masyarakat kelas bawah. 

"Program DP 0 ini memiliki harapan di masyarakat. Tapi, masyarakat masih merasa harga tinggi. Mungkin nanti (harga cicilan) bisa diturunkan. Atau penghasilan masyarakat miskinnya dipacu agar bisa memiliki rumah DP 0 rupiah," kata Suhaimi di Gedung DPRD DKI, Selasa (15/10/2019).

Kritikan lain datang dari Ketua Fraksi PDIP, Gembong Warsono. Gembong menyoroti keberadaan Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP). Menurutnya, TGUPP tak bisa diawasi oleh publik, bahkan DPRD sekalipun. 

Sialnya, rencana anggaran TGUPP tahun 2020 yang diajukan dalam Kebijakan Umum Anggaran-Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) cukup tinggi. Angkanya mencapai Rp26,5 miliar, meskipun ada rencana revisi menjadi Rp21 miliar.

"Tidak ada kinerja TGUPP yang signifikan. Yang bisa langsung dirasakan masyarakat. Yang bisa merasakan kinerja TGUPP itu hanya pak gubernur. Tapi masyarakat sama sekali belum bisa menikmati hasil kerja dari TGUPP," kata Gembong. 

Baca Juga : Tiada yang Ditutupi dari Pemprov DKI soal Laporan Anggaran 

Menambahkan Gembong, Anggota fraksi PDIP Ima Mahdiah, mengkritik soal rencana naturalisasi sungai. Kita semua tahu bahwa masalah yang menjadi langganan di Jakarta adalah banjir. Dulu, Anies sudah merencanakan solusi naturalisasi sungai dengan melakukan penataan lebar sungai kembali seperti semula. Tapi, selama dua tahun ini belum ada tindakan nyata terhadap rencana tersebut. 

"Pak Anies itu belum kerjakan naturalisasi. Padahal, kita kan mau menghadapi musim hujan. Sudah dua tahun, kita pantau tak ada naturalisasi," tutur Ima. 

Kritikan-kritikan DPRD terhadap kinerja Anies selama dua tahun ini kurang lebih mirip dengan catatan pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio. Agus menyampaikan, setidaknya ada tiga catatan kurang mengenakkan terhadap kinerja mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu. 

Catatan pertama, mengenai Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP). Menurut Agus, TGUPP di era Anies tampak sedikit melampaui batas dan lebih dominan ketimbang Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lainnya.

"Pertama Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) ini siapa aja orangnya? Di lapangan TGUPP yang banyak bicara dibandingkan SKPD. Padahal mereka bukan ASN," ujar Agus, Senin (14/10).

Dirinya membandingkan dengan jabatan TGUPP di era Basuki Tjahja Purnama atau Ahok, yang menempatkan pejabat fungsional ASN untuk menganalisa kebijakan. Namun, berbeda dengan fungsi TGUPP yang kini telah berubah cukup drastis bahkan cukup banyak mempengaruhi keputusan Gubernur.  

"Saya tidak tahu seberapa jauh dia mengikuti program pembangunan Pemda DKI. Tapi tolong program yang sudah berjalan dengan baik dan dinikmati oleh publik, jangan dihapus. Carilah hal-hal yang memang belum tersentuh," jelas Agus. 

Baca Juga : Adu Gagasan Ahok vs Anies soal Kampung Akuarium

Catatan kedua, Agus menyoroti soal program-program dari era gubernur sebelumnya yang justru tak diteruskan oleh Anies. Salah satunya program normalisasi sungai di Jakarta. Menurut Agus, dalam beberapa kesempatan Anies tidak memperlihatkan contoh konkret dari penerapan naturalisasi aliran air di sungai-sungai Jakarta. 

Dirinya melihat, Anies belum sepenuhnya menggalakkan program naturalisasi dalam mengurangi potensi banjir di Jakarta. Jika pun saat ini ibu kota tidak terjadi banjir, itu lebih dikarenakan musim kemarau panjang yang terjadi.

"Normalisasi sungai sudah dua tahun terhenti, dan sekarang lagi musim kering itu apa isinya sudah itu sebentar nanti hujan deras atau hal apalagi yang mempengaruhi curah hujan pasti banjir," ungkapnya. 

"Harusnya sekarang itu cepat-cepat reklamasi yang penting tidak sampai tertunda dan terjadi banjir besar. Karena normalisasi itu ya di badan sungai dilebarkan, sehingga tidak mempengaruhi daerah-daerah lain yang harus diperbaiki kalau banjir," tambah Agus.

Terakhir, Agus memperhatikan sistem transportasi kota yang belum sepenuhnya dituntaskan malah terkesan tumpang tindih. Menurut dia integrasi kendaraan umum di Jakarta hanya terfokus di tengah kota, yakni di sekitar kawasan Dukuh Atas. Padahal, konsep integrasi kendaraan umum di kota besar seperti Jakarta seharusnya melingkar dan menyilang.

"Pembangunan Jaya semua ngumpul di pusat, Transjakarta di situ lalu tiba-tiba mengumpulkan transportasi lain di Jakarta yang semuanya berpisat di situ. Padahal transportasi di Jakarta itu sistem transportasinya silang dan melingkar, sisanya feeder saja. Jadi orang luar Jakarta naik kereta sampai di perbatasan dan akan ditangkap oleh transportasi yang melingkar di Jakarta," papar Agus.