Bahaya di Balik Diet Mi Instan yang Lagi Hype di Asia Tenggara
Salah satu penyebabnya adalah kurangnya perhatian orang tua terhadap makanan anak-anak. Anak kerap mengonsumsi makanan-makanan rendah nutrisi, seperti mi instan. Selain rendah nutrisi, mi instan pun rendah zat gizi mikro, seperti zat besi, dan tidak mengandung banyak protein. Sementara, makanan cepat saji itu memiliki kandungan lemak dan garam yang cukup tinggi.
"Orang tua percaya, yang paling penting adalah mengisi perut anak-anak mereka. Tapi mereka tidak benar-benar memikirkan aupan protein, kalsium, atau serat yang memadai," kata Hasbullah Thabrany, ahli kesehatan masyarakat kepada AFP, dilansir dari GMA News, Selasa (15/10).
Indonesia memiliki 24,4 juta anak di bawah lima tahun yang kekurangan nutrisi, sementara Filipina memiliki 11 juta, dan Malaysia 2,6 juta. Berdasarkan data World Instant Noodles Association, Indonesia adalah konsumen mi instan terbesar kedua di dunia, setelah Tiongkok, dengan 12,5 miliar porsi pada 2018. Angka itu melebihi India dan Jepang.
Laporan UNICEF menyebut, diet tradisional dengan mengonsumsi buah-buahan, sayuran, telur, susu, ikan, dan daging yang kaya nutrisi, mulai ditinggalkan oleh orang-orang. Umumnya, itu terjadi pada mereka yang pindah dari desa ke kota untuk mencari pekerjaan.
Mueni Mutunga, spesialis nutrisi UNICEF Asia, menelusuri kecenderungan orang-orang dalam berdiet. Dia menemukan, orang-orang meninggalkan cara diet tradisional dengan mengonsumsi makanan modern yang terjangkau, mudah diakses, dan mudah disiapkan. Makanan tersebut adalah mi instan
"Mi mudah, murah, dan cepat. Mi menggantikan apa yang seharusnya menjadi makanan penyeimbang," katanya kepada AFP.
Walhasil, tren itu berpengaruh pada anak-anak. Meskipun Filipina, Indonesia, dan Malaysia dianggap sebagai negara berpenghasilan menengah, berdasarkan standar Bank Dunia, puluhan juta rakyatnya berjuang menghasilkan uang untuk hidup. Ini yang kemudian diduga menjadi sebab para orang tua tidak memikirkan nutrisi makanan anak-anak.
Baca Juga : Surga Olahan Mi Nusantara di Maroko
Seorang ahli kesehatan masyarakat di Malaysia, T. Jayabalan, menyebut orang tua membutuhkan makanan yang bisa dibuat secara cepat. Makanan itu kemudian turut dikonsumsi oleh anak. "Kemiskinan adalah masalah utama," kata T. Jayabalan.
Dia melanjutkan, rumah tangga berpendapatan rendah di Malaysia sangat bergantung pada mi siap saji, ubi jalar, dan produk berbasis kedelai sebagai makanan utama mereka. Karena itu, mengendalikan bahaya mi instan pada kehidupan sehari-hari orang di Asia Tenggara adalah sebuah tantangan.
Menurutnya, pemerintah perlu melakukan intervensi. Sebab, iklan-iklan mi instan muncul secara agresif di masyarakat. "Promosi dan periklanan sangat agresif," kata Thabrany, pakar kesehatan masyarakat Indonesia. "Ada distribusi besar-besaran. Mi instan tersedia di mana-mana, bahkan di tempat-tempat paling terpencil."