Mahasiswa Ungkap Upaya Aparat Setop Demonstrasi

Jakarta, era.id - Banyak infomasi simpang siur soal pergerakan mahasiswa yang disebut-sebut akan kembali turun ke jalan untuk menolak UU KPK dan sejumlah pasal bermasalah dalam RUU KUHP. Bahkan, pergerakan itu disusupi isu terkait upaya menggagalkan pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih.

Meski begitu, hingga hari ini tak terlihat pergerakan apapun dari mahasiswa, termasuk soal rencana mereka menyampaikan aspirasi di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat.

Belakangan, muncul fakta baru yang menyebut adanya tindakan dari aparat untuk meredam aksi elemen mahasiswa yang menyebut diri mereka Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI).

Upaya peredaman dilakukan aparat dengan cara mendatangi kampus-kampus yang tergabung dalam BEM SI. Jalur birokrasi yang ditempuh aparat menghasilkan keputusan, tak ada lagi aksi demonstrasi sepanjang 15 hingga pelantikan pada 20 Oktober mendatang.

"Mengeluarkan keputusan terkait tidak diizinkannya aksi di tanggal 15 sampai 20 Oktober," tutur Koordinator BEM SI Wilayah Jabodetabek-Banten, Muhammad Abdul Basit kepada era.id, Selasa (15/10/2019).

BEM SI tak sepenuhnya menerima keputusan itu. Menurut mereka, aparat terlalu reaktif. Peredaman aksi massa jadi buktinya. Aparat dianggap tak mematuhi nilai konstitusi. Aparat juga dipandang gagal memahami psikologi massa dalam unjuk rasa. Bahwa keresahan yang dirasakan massa nyata dan patut diperjuangkan.

"Kami memandang sikap kepolisian kurang bijak dengan adanya pelarangan aksi. Pertama, yang harus disadari bahwa penyampaian pendapat dijamin oleh konstitusi. Maka, ketika ada pelarangan, tentu hal ini berbenturan dengan konstitusi yang ada," kata Abdul.

"Selanjutnya, kami memandang aparat terlalu reaktif dalam mengambil sikap tersebut. Padahal bentuk penyampaian pendapat tentu beragam dan jangan selalu digeneralisir bahwa akan selalu berakhir chaos dan mengganggu kestabilan bangsa," sambungnya.

Menutup api dalam sekam

Soal psikologi massa yang dimaksud, Abdul menjelaskan, pelarangan aksi hanyalah upaya menutup api dalam sekam. Logis. Sebelum tuntutan massa terpenuhi, sejatinya api keresahan tak akan pernah benar-benar bisa dijinakkan.

Lagipula, negara, terutama aparat kepolisian seharusnya mampu memenuhi hak warga negara untuk berunjuk rasa, sesuai konstitusi dan UUD 1945 Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Bagi Abdul, tak ada yang lain. Pelarangan aksi demonstrasi adalah pelanggaran terhadap hak warga negara. "Pelanggaran terhadap hak warga negara untuk mengemukakan pendapat di muka umum dan kebebasan berekspresi," kata Abdul.

Aksi mahasiswa 'Reformasi Dikorupsi' (era.id)

Lebih jauh, Abdul meminta agar negara tak paranoid bin suudzon. Menurutnya, aksi turun ke jalan yang telah dilakukan mahasiswa sejauh ini tidak terkait dengan upaya untuk menggagalkan proses pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih.

"Terakhir, kami dari Aliansi BEM SI sangat menghargai proses demokrasi yang sudah berlangsung di Indonesia. Kami tak pernah ada niatan untuk menggagalkan pelantikan seperti yang dituduhkan," kata Abdul.

Dikonfirmasi terkait pelarangan aksi ini, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo membenarkannya. Menurutnya, dalam kasus ini polisi menggunakan diskresi alias hak istimewa. 

"Jadi, kita ada diskresi kepolisian yang disampaikan, bahwa dari Polda Metro Jaya tidak akan menerbitkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) antara tanggal 15 sampai dengan 20 (Oktober). Kita berharap tidak ada unjuk rasa sehingga kita bisa melaksanakan kegiatan dengan baik dan lancar," tutur Argo.

Tag: aksi mahasiswa 23-24