Trauma ISIS dan Bangkitnya Kepercayaan Kuno di Irak Utara
Perempuan bernama Faiza Fuad bergabung dengan mereka. Ini adalah kali pertama dirinya menjalani ajaran Zoroatrianisme. "Aku merasa sangat bahagia dan segar," kata Faiza, yang mengenakan kalung khas Zoroastrianisme, kalung farahawar, dilansir dari yahoo.com.
Baca Juga : Serangan Supremasi Kulit Putih pada Kaum Yahudi Marak di AS
Faravahar. (Commons Wikimedia)
Faiza sebenarnya sudah sejak lama mempelajari Zoroastrianisme. Menurut Faiza, ajarin itu membuat hidup menjadi lebih mudah. "Ini semua tentang kebijaksanaan dan filsafat. Zoroastrianisme melayani umat manusia sekaligus alam semesta," katanya.
Di kuil itu Faiza menjalani ritual pertobatan. Berdiri di samping Faiza, imam besar Zoroasterianisme bernama Qadrak dan pembantunya yang mengenakan pakaian serba putih. Kain warna putih itu mewakili kemurnian.
Dengan kitab suci Avesta di tangannya, imam besar Zoroaster itu membacakan ayat-ayat suci kepada Faiza. Pembantunya kemudian mengikat tali berwarna putih sebanyak tiga kali di pinggang Faiza. Ikatan itu melambangkan nilai-nilai inti iman dari kebajikan serta pikiran dan perbuatan baik. Faiza kemudian mengangkat tangannya dan bersumpah untuk mematuhi nilai-nilai Zoroastrianisme.
Suku Kurdi, dilansir dari voanews.com, adalah salah satu penduduk asli di dataran Mesopotamia. Wilayah itu merujuk pada daerah di perbatasan Irak Utara, Turki Tenggara, Suriah Timur Laut, Iran Barat Laut, dan Armenia Barat Daya.
Ada yang memperkirakan, jumlah suku Kurdi saat ini sebanyak 25 juta orang. Ada pula yang menyebut 35 juta orang. Yang jelas, suku Kurdi adalah kelompok etnis terbesar keempat di Timur Tengah.
Faiza adalah satu dari banyaknya orang Kurdi yang kembali ke kepercayaan asalnya. Gelombang kembalinya orang-orang Kurdi kepada Zoroastrianisme terjadi seiring kekalahan pasukan ISIS di tanah orang-orang Kurdi. Selama bertahun-tahun sebelumnya, para ekstremis ISIS memaksakan hukum Islam dengan kekerasan sebagai dasar kekhalifahan.
"Banyak yang berpikir nilai-nilai ISIS sangat aneh kontras dengan nilai-nilai dan tradisi Kurdi, sehingga beberapa telah memutuskan untuk meninggalkan iman mereka," kata imam besar Qadrok.
Saat ISIS berkuasa, orang-orang Kurdi di Irak Utara terpaksa harus menyembunyikan kepercayaan mereka terhadap Zoroastrianisme. ISIS memaksakan nilai-nilai Islam radikal sebagai cara mereka hidup.
ISIS pertama kali menyerang Irak Utara pada Juni 2014. ISIS kemudian menguasai wilayah itu dan mengikis nilai-nilai kebudayaan termasuk kepercayaan Zoroastrianisme, yang sudah berumur 3.500 tahun. ISIS berkuasa di atas tanah orang Kurdi Irak Utara.
ISIS, yang menjaga kekuasaannya dengan kekerasan berdasarkan Islam radikal selama bertahun-tahun, kemudian menimbulkan kekecewaan. Orang-orang Kurdi pun menjadikan Zoroastrianisme sebagai pedoman hidup sekaligus penegasan identitas mereka.
"Setelah orang-orang Kurdi menyaksikan kebrutalan ISIS, banyak orang mulai memikirkan kembali iman mereka," kata Asrawan Qadrok, imam agama utama di wilayah otonomi Kurdi Irak.
Baca Juga : Torelansi Tinggi di Tengah Aksi Demonstrasi Hong Kong
Saat ini, Kurdistan di Irak lebih banyak menganut Islam dari pada Zoroastrianisme. Islam menjadi agama mayoritas. Tapi ulama Islam Mullah Saman menegaskan, orang-orang Zoroaster adalah saudara. "Orang-orang Zoroaster adalah saudara kita, bukan musuh kita: Musuh kita adalah orang-orang yang membunuh kita, seperti (Presiden Turki Recep Tayyip) Erdogan," katanya.
Yasna, lembaga yang mempromosikan Zoroastrianisme di Kurdistan, menilai orang-orang Kurdi perlu memiliki agama sendiri untuk menegaskan identitas. Menurut Kepala Yasna Azad Saeed Mohammad, identitas tersebut diperlukan untuk membangun sebuah bangsa.
"Orang Kurdi perlu memiliki agama mereka sendiri seperti negara-negara lain di Timur Tengah, untuk menyelamatkan diri dari agresi dan penyerbu," katanya.
Zoroastrianisme memiliki penganut sampai ke India. Dulu, Zoroastrianisme menjadi agama resmi kekaisaran Persia. Tapi ajaran ini kemudian mati pelan-pelan. Sebabnya adalah pembunuhan raja Zoroaster terakhir pada 650, dan kebangkitan Islam. Dua hal itu seperti menjadi penggali kubur kepercayaan Zoroastrianisme untuk waktu yang lama.