Mencari Bibit Baru Perfilman Indonesia Lewat GKFP 2019

Jakarta, era.id - Penanugerahaan Gelar Karya Film Pelajar (GKFP) 2019 diselenggarakan tadi malam. Acara ini digelar setelah serangkaian tahap seleksi yang dilakukan sejak bulan September.

Bertempat di Epicentrum XXI, acara itu mengumumkan sejumlah pemenang yang telah mengirimkan karyanya sejak bulan lalu. Acara kerja sama Pusbangfilm dan Kemendikbud ini menerima karya dari 217 sekolah di Indonesia.

Tahun ini cukup banyak perbedaan dibanding tahun sebelumnya. Reza Rahadian, aktor kenamaan Indonesia duduk sebagai direktur festival. Reza turut memilih tim juri seperti sutradara Garin Nugroho, produser Sheila Timothy, Director of Photography (DoP) Yudi Datau. Sementara, aktor muda yang baru-baru ini populer Angga Yunanda, menjadi duta festival ini.

Ada enam pemenang dalam kompetisi Gelar Karya Film Pelajar 2019 ini yaitu:

Penulis Skenario Film Pendek Dokumenter Terpilih: Tarikan Nafas Dangka - Annisa Priyanti, SMKN 1 Pacitan

Penulis Skenario Film Pendek Fiksi Terpilih: Bidak - Azka Guzamir, SMK Multimedia Sumbangsih, Jakarta

Penyutradaraan Film Pendek Dokumenter Terpilih: Pe(cina)n - Suhadi Adit Prastowo, SMK Umar Fatah, Rembang

Penyutradaraan Film Pendek Fiksi Terpilih: Neka - Abimanyu Amarjati, SMAN 6 Bogor

Film Pendek Dokumenter Terpilih: Pesona Keindahan Garis-Garis Yang Terpadu Dalam Kain - SMAN 2 Klaten

Film Pendek Fiksi Terpilih: Kritis - SMAN 2 Semarang

Penghargaan Peserta: Maneka - SMAN 2 Tanggerang Selatan

Melihat potensi baru

Sheila Timothy (Lala), selaku produser film awalnya mengaku merasa sulit ketika diminta menjadi tim juri. Namun, ternyata dia kaget setelah melihat karya yang dikirimkan para peserta.

“Karena ini kan tahap pelajar, jadi harus penyesuaian dengan teknis. Tapi ternyata kita, tim juri kaget karena kemampuan teknis peserta luar biasa. Baik sinematografinya, framing-nya bagus,” katanya.

Meskipun ditujukan untuk pelajar SMA dan SMK, tetap ada syarat khusus untuk memilih pemenang yaitu kritis, ada konflik, sinematografi bagus, serta tata editing yang rapi. 

Lala menambahkan, acara ditujukan untuk menemukan bibit-bibit baru perfilman. Selain itu, digelar workshop setelah proses seleksi. Workshop dilakukan bersama orang-orang profesional di industri perfilman sehingga membuat jalan mereka menuju industri perfilman terbuka lebar.

Rasa senang sekaligus bangga terpancar dari muka Angga Yunanda, aktor yang didaulat menjadi Duta GKFP 2019. Pengalaman ini merupakan pertama kalinya bagi aktor yang dikenal lewat perannya di Dua Garis Biru.

“Senang liat antusias terutama teman-teman SMA SMK yang ikut memeriahkan. Senang banget.” jawab Angga sesuai acara pengumuman GKFP 2019.

Angga Yunanda (Tarida/era.id)

Sebagai duta festival, Angga bertugas untuk melakukan promosi kepada anak muda untuk mengikuti Gelar Karya Film Pelajar 2019. Tetapi di luar tugasnya, Angga menemukan banyak hal menarik lewat ajang ini.

“Kalau aku lihatnya udah luar biasa berkembang ya. Karena pengaruh teknologi dan sosial media, jadi kita bisa belajar dari manapun. Bahkan aku dengar dari dewan juri kalau teknis tahun ini luar biasa padahal teknis itu tidak terlalu banyak dinilai.” jelas Angga yang menyebut GKFP ini sebagai Festival Film Indonesia (FFI)-nya anak muda

Dia mengaku ingin membintangi film-film indie yang digarap oleh anak-anak muda ini karena dianggapnya seru. Angga juga berharap GKFP ini bisa lebih besar dan lebih banyak lagi pemenangnya seperti aktor atau aktris terpilih.

Harapan untuk Perfilman Indonesia

Tim era.id juga berbincang dengan salah satu pemenang GKFP tahun ini; Penulis Skenario Film Pendek Fiksi Terpilih, yaitu Azka Guzamir dan Dimas Sami Nugroho dari SMK Multimedia Sumbangsih Jakarta lewat film Bidak.

Ini adalah ketiga kalinya Azka mengikuti lomba perwakilan dari sekolah untuk kompetisi lomba membuat film seperti GKFP. Sekolah mereka memang memotivasi anak-anaknya untuk memproduksi sebuah film.

Menariknya, Bidak adalah karya hasil pemikiran dari obrolan di warung tongkrongan mereka. “Ini seperti mencampur rasa cinta, rasa bangga, rasa pertemanan, dan rasa percaya diri.” kata Sami, penulis skenario Bidak.

Film ini juga menjadi wujud keresahan Sami dan Azka kepada generasi muda atas segala pertanyaan yang mereka pikirkan. Katanya, negara ini dipecah bukan karena ras agama atau suku, tetapi pendapat yang berbeda.

Azka dan Sami mendapatkan culture shock saat mengikuti festival ini. “Karena kita ketemu sama orang Aceh, Kupang, dan semacamnya yang baru pertama kali ke Jakarta. Kita ngobrol dan kita perhatiin, di luar sana perfilman itu sudah maju. SDM sudah ada tetapi kurangnya properti dan teknis.” jawab Sami yang mengaku film Gie adalah film favoritnya.

Salah satu pemenang GKFP 2019 (Tarida/era.id)

Dari kacamata anak muda, Azka dan Sami juga melihat sejumlah kesulitan di kancah perfilman Indonesia, di antaranya CGI dan teknologi yang kurang mendukung. Di samping itu, ada cerita film yang terlalu halu dan belum totalitas.

“Kenapa sih harus menjadikan patokan film luar. Kenapa enggak film kayak Habibie. Kita berdua selalu nangis di saat kita pengin jadi seperti Ir. Soekarno yang bisa menyatukan tiga ideologi. Kenapa ya enggak ada yang mau melanjutkannya di aspek apapun, misalnya film,” kata dia.

Mereka pun berharap perfilman Indonesia punya tingkatannya sendiri dan semakin maju. Azka dan Sami punya keinginan memajukan perfilman Indonesia.

Pesan mereka untuk anak muda yang ingin memulai kariernya di dunia perfilman: “Kita hidup cuma punya tiga; mulai sekarang, mulai nanti, atau tidak memulainya sama sekali. Kita harus tahu resikonya seperti apa. Tetap semangat dan terus berkarya.” kata keduanya menutup wawancara.

Tag: film indonesia