Kenali Tanda Angin Puting Beliung dari Penampakan Awan

Bandung, era.id – Suhu panas ekstrem yang melanda sejumlah wilayah di Indonesia sudah terlewati. Saat ini, kata Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Indonesia bakal menghadapi musim hujan. Puncak diprediksi akan terjadi pada Januari-Februari 2020.

Pada masa transisi yang biasa disebut pancaroba ini dicirikan dengan curah hujan yang tinggi disertai angin dan petir yang menyambar-nyambar. Nah, Salah satu bencana khas pancaroba yang harus diwaspadai adalah kehadiran angin puting beliung.

Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo bilang, angin puting beliung merupakan angin kencang yang biasa terjadi saat pancaroba, baik peralihan dari musim penghujan maupun sebaliknya.

Untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat, Agus mengingatkan ciri-ciri bencana puting beliung. Menurutnya, kejadian puting beliung lebih sering terjadi pada saat siang atau sore hari.

"Masyarakat dapat mengenali tanda-tanda akan terjadinya fenomena puting beliung, seperti udara panas pada malam hingga pagi, terlihat pertumbuhan awan cumulus, serta hembusan udara dingin," kata Agus, dalam keterangan resmi yang diterima era.id.

Baca Juga : Pneumonia Jadi Penyakit Musim Hujan yang Harus Diantisipasi

Infografik (era.id)

Awan cumulus berbentuk berupa gumpalan seperti bunga kol, warnanya abu-abu dengan tinggi menjulang. Puting beliung ditandai dengan kemunculan awan ini pada pada pagi maupun sore hari.

Memasuki bulan November ini, Agus mengimbau masyarakat untuk waspada terhadap potensi cuaca ekstrem. "BMKG menginformasikan bahwa perlu kewaspadaan terhadap potensi cuaca ekstrem seperti puting beliung, hujan es, hujan lebat disertai petir dan angin kencang pada periode transisi musim atau pada November hingga Desember," katanya.

Sementara potensi gelombang tinggi selama November perlu diwaspadai di perairan barat Sumatera hingga selatan Bali dan Nusa Tenggara Barat.

"Di samping potensi bahaya karena iklim dan cuaca, warga diimbau selalu waspada terhadap potensi ancaman bahaya gempa bumi. Bahaya ini tidak dapat diperkirakan sehingga kita harus selalu waspada dan siaga," kata Agus.

BNPB mencatat, bencana angin puting beliung masuk dalam jenis bencana hidrometeorologi. Dari Januari hingga Oktober 2019, bencana hidrometeorologi lebih mendominasi di Indonesia, yakni 98 persen. Bencana puting beliung sendiri mencapai 964 kali.

Baca Juga : Waspada Angin Kencang di Musim Pancaroba

Puting beliung mengakibatkan tidak hanya kerusakan tetapi juga korban jiwa. Data BNPB hingga akhir Oktober 2019 mencatat 16 jiwa meninggal dunia dan 2 lainnya hilang, sedangkan 177 jiwa mengalami luka-luka.

Kerusakan rumah hingga mencapai puluhan ribu. Rumah rusak berat mencapai 1.794 unit, rusak sedang 2.978 dan rusak ringan 17.816. Kerusakan di sektor lain, seperti pendidikan sejumlah 115 unit, peribadatan 93 dan kesehatan 15.

Bencana hidrometeorologi lain yang terjadi yaitu banjir, tanah longsor dan kekeringan. BNPB mencatat 673 kali banjir, 631 longsor dan 121 kekeringan. Banjir mengakibatkan korban meninggal 254 jiwa dan hilang 101, sedangkan tanah longsor mengakibatkan korban meninggal 108 dan hilang 6.

"Meskipun kekeringan tidak mengakibatkan korban dan kerusakan, tetapi jumlah populasi yang terdampak tertinggi pada jenis bencana ini yaitu lebih dari 3,8 juta," papar Agus.

Sementara itu, bencana geologi seperti gempa bumi terjadi sebanyak 25 kali. Gempa mengakibatkan korban meninggal 68 jiwa, luka-luka 1.889 dan mengungsi 312.110. Gempa bumi juga mengakibatkan ribuan rumah rusak. "Dampak pada korban dan kerusakan biasanya diakibatkan bukan karena gempa tetapi bangunannya," terang Agus.

Sebaran bencana banyak terjadi di Pulau Jawa. Kejadian bencana tertinggi terjadi di Jawa Tengah dengan 748 kejadian, dan disusul Jawa Barat 593, Jawa Timur 455, Aceh 149 dan Sulawesi Selatan 142.

Selain itu, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) masih terjadi. Data BNPB per 31 Oktober 2019, pukul 09.00 WIB mencatat titik panas di wilayah prioritas penanganan Karhutla di Sumatera Selatan sebanyak 185 titik, Jambi 8, dan Riau tidak terdeteksi.

Sedangkan di Kalimantan Tengah, titik panas berjumlah 134 titik, Kalimantan Selatan 107 dan Kalimantan Barat 36. Masih terpantaunya titik panas, kualitas udara yang diukur dengan PM 2,5 dan bersumber dari KLHK masih pada ambang sedang hingga tidak sehat. Kualitas udara tidak sehat masih terpantau di Kalimantan Tengah, Jambi dan Sumatera Selatan, sedangkan wilayah lain pada kualitas sedang.

Karhutla pada kawasan lain terpantau masih terjadi di Gunung Cikuray, Sumbing, Ungaran dan Rinjani. Luas lahan terdampak di seluruh wilayah Indonesia mencapai 857.756 ha.

Tag: bencana alam cuaca ekstrem