Mendagri Harus Pikirkan Formula Biaya Politik Murah
Usulan Tito mendapat kritik dari Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. seharusnya Mendagri menghindari kebijakan yang kontroversial dan kontraproduktif.
"Soal evaluasi pilkada, tentu hal itu diperlukan. Namun mesti dilakukan secara komprehensif dengan proses yang juga partisipatif. Kalau problematika politik biaya tinggi maka konklusinya jangan melompat menjadi mempertanyakan eksistensi pilkada langsungnya," ujar Titi saat dihubungi, Jumat (8/11/2019).
Titi mengatakan, ketimbang mengeluarkan pernyataan yang mempertanyakan soal pentingnya Pilkada langsung, seharusnya Tito memikirkan formula tawaran yang bisa mengelola teknis pilkada biaya murah tanpa mencederai hak rakyat menyalurkan suaranya.
Baca Juga: Laporan Ngawur untuk Novel Baswedan dan Gelapnya 'Peristiwa Subuh'
Ia lantas mencontohkan dengan mengatur pembatasan belanja kampanye, serius membenahi akuntabilitas dana kampanye dengan skema yang bisa memberi efek jera pada paslon yang melanggar, penegakan hukum atas politik uang yang lebih tegas, pemberantasan praktik mahar politik secara kongkret, serta memberi ruang keterlibatan PPATK dan KPK dalam pencegahan dan penindakan korupsi politik.
"Mestinya (Mendagri) bisa lebih fokus pada hal-hal mendesak yang perlu dituntaskan. Misal soal kesiapan penganggaran pilkada 2020, menuntaskan perekaman KTP elektronik dan konsolidasi administrasi kependudukan warga negara. Serta masih banyak pekerjaan rumah dalam negeri lainnya," paparnya.
Namun, ide Tito didukung oleh para politikus. Mereka menilai memang perlu ada evaluasi terhadap sistem Pilkada langsung.
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan partainya sepakat dengan argumen sistem Pilkada langsung memang memakan biaya tinggi yang berdampak pada meningkatnya korupsi dan menambah ketegangan politik.
"PDIP menanggapi positif gagasan Mendagri Tito Karnavian untuk melalukan evaluasi terhadap pelaksanaan sistem pemilu langsung yang menyebabkan tingginya biaya pemilu, korupsi, dan “ketegangan politik” akibat demokrasi bercita-rasa liberal kapitalistik yang selama ini diterapkan di Indonesia," ujar Hasto melalui keterangan tertulisnya, Jumat (8/11/2019).
Selain itu, kata Hasto, Pilkada langsung yang berbiaya tinggi akan memunculkan oligarki baru yang mana mereka yang memiliki akses media yang luas dan melakukan mobilisasi sumber dayalah yang berpeluang terpilih. Sehingga hal ini mengubah demokrasi dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat menjadi sistem kapitalis.
Sementara Sekretaris Jenderal PPP, Arsul Sani mengatakan pembahasan di DPR mengenai Pilkada langsung sudah lama terlihat jika menang lebih banyak mudaratnya. Meski demikian, ada pula manfaatnya, yaitu hak demokrasi secara langsung bisa dinikmati rakyat.
"Menurut kami di PPP sudah saatnya ada penelitian empiris tentang manfaat dan mudaratnya pilkada langsung sebelum pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU kemudian mengambil langkah kebijakan termasuk politik hukum baru misalnya pilkadanya diubah jadi enggak langsung," ujar Arsul.
Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian mempertanyakan relevansi pilkada langsung yang berlaku saat ini. Ia menilai sistem pemilihan tersebut lebih banyak dampak negatifnya, salah satunya adalah biaya politik tinggi yang berdampak pada banyaknya korupsi oleh kepala daerah.
"Apakah sistem politik pemilu pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun.Banyak manfaatnya partisipasi demokrasi, tapi kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi," kata Tito di Gedung Parlemen, Rabu (6/11).
Tingginya biaya politik saat Pilkada langsung, kata Tito tak membuat dirinya terkejut jika akhirnya banyak kepala daerah yang berpotensi melakukan tindak pidana korupsi dan terkena operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).