Kepercayaan Publik Terhadap Institusi Negara Turun
Peneliti LSI Denny JA, Adjie Alfaraby mengatakan, kepercayaan terhadap institusi negara cenderung turun pascapilkada DKI dan Pilpres.
"Pada Juli 2018 (prapilpres), kami mencatat bahwa publik yang percaya bahwa Presiden bekerja untuk kepentingan rakyat sebesar 81.5 %. Dan sebesar 14.2 % menyatakan tidak percaya. Namun kepercayaan terhadap Presiden cenderung menurun pascapilpres," kata Adjie dalam konpers kerja sama LSI Denny JA dan LAPI ITB membuat program mini MBA bidang pemerintahan dan opini publik di Jakarta, Rabu (13/11/2019).
Mereka yang menyatakan cenderung percaya bahwa Presiden bekerja untuk kepentingan rakyat mengalami penurunan menjadi sebesar 75.2 % menyatakan percaya, dan sebesar 18.8 % menyatakan tidak percaya. Artinya terjadi penurunan sekitar 6.3 % kepercayaan publik terhadap presiden pascapilpres 2019.
Menurut Adjie, kepercayaan terhadap Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengalami penurunan. Pada Juli 2018, mereka yang percaya bahwa DPD bekerja untuk kepentingan rakyat sebesar 68.7 %. Namun pada September 2019 (pascapilpres), mereka yang percaya DPD memperjuangkan kepentingan rakyat menurun menjadi 64.2 %.
"Mereka yang tidak percaya DPD bekerja untuk kepentingan rakyat memang tidak meningkat, justru sebaliknya menurun. Pada Juli 2018, mereka yang tidak percaya sebesar 19%. Kini mereka yang tidak percaya justru turun 14.4 %. Namun demikian, mereka yang ragu atau gamang terhadap DPD justru meningkat. Dari hanya 12.3 % yang gamang terhadap DPD pada Juli 2018, menjadi 21.4 % pada September 2019. Kurang tereksposnya kerja dan kewenangan DPD yang terbatas menjadi salah satu alasan tingginya kegamangan publik terhadap lembaga DPD," ucapnya.
Senada hal yang sama juga terjadi pada DPR. Pada Juli 2018, mereka yang percaya bahwa DPR bekerja untuk kepentingan rakyat sebesar 65.0 %. Sementara mereka yang tidak percaya sebesar 25.5 %. Namun pada September 2019, tingkat kepercayaan terhadap DPR pun menurun. Pascapilpres, mereka yang percaya bahwa DPR akan bekerja untuk kepentingan rakyat sebesar 63.5 %. Sementara mereka yang tidak percaya cenderung naik menjadi 28.4 %.
Kepercayaan terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mengalami penurunan. Kata Adjie, mereka yang percaya KPK bekerja untuk kepentingan rakyat sebesar 89.0 % prapilpres. Namun pascapilpres mereka yang percaya cenderung menurun meski masih cukup tinggi yaitu sebesar 85.7 %.
"Sementara mereka yang kurang percaya terhadap KPK cenderung naik dari 6.5 % prapilpres menjadi 8.2 % pasca Pilpres," imbuhnya.
Adjie melanjutkan bahwa kinerja Mahkamah Konstitusi (MK) juga mengalami penurunan. Masyarakat yang percaya kalau MK bekerja untuk kepentingan rakyat sebelumnya sebesar 76.4 %. Namun pasca Pilpres 2019, mereka yang percaya bahwa MK bekerja untuk kepentingan rakyat cenderung menurun menjadi 70.2 %.
"Sementara mereka yang tidak percaya bahwa MK bekerja untuk kepentingan rakyat cenderung naik dari 10.0 % pra Pilpres, menjadi 17.4 % pasca Pilpres 2019," tutur dia.
Sedangkan kinerja Polri juga tak kalah turun. Menurut Adjie, mereka yang percaya bahwa Polri bekerja untuk kepentingan rakyat sebesar 87.8 % pada Juli 2018. Pada September 2019, pasca Pilpres, mereka yang percaya bahwa Polri bekerja untuk kepentingan rakyat menurun menjadi 72.1 %.
"Sementara mereka yang tidak percaya Polri bekerja untuk kepentingan rakyat cenderung naik dari 7.8 % menjadi 10.6 % pasca Pilpres 2019," ungkap dia.
Adjie menambahkan, pada Juli 2018, mereka yang percaya bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) bekerja untuk kepentingan rakyat sebesar 90.4 %. Pada September 2019, mereka yang percaya TNI bekerja untuk kepentingan rakyat menurun tipis yaitu menjadi 89.0 %.
"TNI menjadi satu-satunya lembaga negara yang trust publiknya hanya menurun tipis dibandingkan dengan lembaga lain pasca ilpres 2019. Tugas-tugas TNI yang tidak bersentuhan langsung dengan keseharian masalah publik menjadi salah satu faktor penyebab," kata Adjie.
Menurut Adjie, LSI Denny JA mendapatkan empat faktor penyebab menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi negara. Pertama, masifnya narasi negatif pada pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019. Pada kedua event pemilu tersebut, kampanye negatif yang menyerang kredibilitas aneka lembaga tersebut beredar di publik baik dalam bentuk pernyataan tokoh tertentu maupun bahan kampanye yang diedarkan.
"Kedua, maraknya kasus korupsi. Banyaknya kasus penangkapan pejabat publik seperti kepala daerah, ketua umum partai politik, anggota DPR dan DPD, Menteri, hakim konstitusi, dan penegak hukum lainnya meningkatkan sentimen negative public terhadap lembaga-lembaga negara. Dan akhirnya menyebabkan turunnya kepercayaan public terhadap aneka Lembaga tersebut. Contohnya pada periode 2014-2019 tercatat lebih dari 60 kepala daerah yang ditahan KPK karena kasus korupsi," tutur dia.
Sedangkan faktor ketiga, politik media sosial yang ekstrem. Dimana medsos yang berkembang menjadi salah satu medium utama kampanye menjadi sumber informasi dan propaganda dalam pertarungan politik. Di sisi lain, banyak beredar konten-konten yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya (hoaks) yang menyerang individu maupun lembaga-lembaga negara.
"Keempat, selama ilpres 2019 dan pilkada DKI Jakarta 2017, terjadi fenomena pembelahan politik di level grass root. Pembelahan ini juga diikuti dengan saling serang antar pendukung hingga ke isu agama yang sangat emosional," pungkasnya.
Survei ini dilakukan pada Juli 2018 (prapilpres) dan September 2019 (pascapilpres) dengan populasi pemilih nasional menggunakan 1200 responden di_34 propinsi, dengan metode wawancara langsung dengan margin of error survei ini adalah /- 2.9%. Selain survei, LSI Denny JA juga melengkapi survei ini dengan riset kualitatif dengan metode FGD, indepth interview, dan analisis media.