Barangkali Sukmawati Perlu Belajar dari Sukarno tentang Nabi Muhammad

Jakarta, era.id  - Sukmawati Sukarnoputri mengucap pernyataan kontroversial dengan membandingkan Proklamator Sukarno dengan Nabi Muhammad. Pernyataan itu dikritik habis oleh banyak orang. Sejatinya, bagaimana Sukarno menempatkan Nabi Muhammad di dalam hidupnya?

Pernyataan Sukmawati disampaikan dalam acara Focus Group Discussion (FGD) Divisi Humas Polri. Dalam acara bertajuk "Bangkitkan Nasionalisme Bersama Kita Tangkal Radikalisme dan Berantas Terorisme" itu, Sukmawati berdiri sebagai pembicara.

Mulanya, Sukmawati bercerita tentang tragedi Perguruan Cikini (Percik) pada 30 November 1957 lalu. Peristiwa tersebut, kata Sukmawati, menjadi awal mula terjadinya terorisme di Indonesia. Namun, entah bagaimana, ia terus meracau hingga membandingkan perjuangan Sukarno dan Nabi Muhammad.

"Mereka itu atau orang yang Islam sempit pikiran yang hanya melihat paling mulia adalah yang mulia Nabi Muhammad dan hanya boleh Alquran dan hadis," tutur Sukmawati di The Tribrata, Jakarta Selatan, Senin, 15 November.

"Sekarang, saya mau tanya, yang berjuang di abad 20 itu Nabi yang mulia Muhammad atau Insinyur Soekarno? Untuk kemerdekaan Indonesia?," lanjut Sukmawati.

Pertanyaan itu sejatinya sempat ingin dijawab oleh beberapa peserta diskusi. Seorang mahasiswa UIN, Jakarta, Maulana menimpali pernyataan Sukmawati. “Memang benar, pada saat awal abad ke-20 itu yang berjuang adalah insinyur Soekarno ...,” tutur Maulana.

Namun, penuturan Maulana justru dipotong kembali oleh Sukmawati. "Sudah cukup ,saya tanya itu saja,” katanya.

Kontroversi Sukmawati

Sebelum pernyataan di The Tribrata, Sukmawati juga sempat memantik kontroversi serupa ketika membaca puisi di acara 29 tahun Anne Avantie di Indonesia Fashion Week 2018. Saat itu, puisi berjudul "Ibu Indonesia" yang dikarang dan dibacakan Sukmawati dianggap menyinggung azan dan cadar.

Puisi itu dikritik keras oleh banyak pihak, termasuk Kapitra Ampera, pengurus Persaudaraan Alumni 212. Menurutnya, puisi Sukmawati jelas mendiskreditkan agama. "Saya mendapatkan video itu tadi pagi. Sudah saya cermati ada mengenai adzan dan cadar, menurut saya ada dugaan kuat mendiskreditkan agama," ujar Kapitra kala itu.

Menurut Kapitra, tak sepatutnya Sukmawati membandingkan azan dengan Kidung Pancasila. Sederhana saja. Azan adalah panggilan ibadah untuk umat Islam. Tak mungkin membandingkan azan dengan hal apa pun di luar konteks. "Jangan banding-bandingkan adzan. Adzan itu panggilan ibadah," tambahnya.

Saat itu, Sukmawati menyebut puisinya sebagai pendapat pribadi sebagai budayawan. Ia menolak karyanya disebut memuat penghinaan terhadap SARA. "Saya nggak ada SARA-nya. Di dalam saya mengarang puisi," kata Sukmawati ditulis Detikcom.

"Saya sebagai budayawati berperan bukan hanya sebagai Sukmawati saja, namun saya menyelami, menghayati khususnya ibu-ibu di beberapa daerah. Ada yang banyak tidak mengerti syariat Islam seperti di Indonesia timur di Bali dan daerah lain," tambahnya Sukmawati.

Berikut isi lengkap puisi Sukmawati tersebut:

"Ibu Indonesia"

Aku tak tahu Syariat Islam

Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah

Lebih cantik dari cadar dirimu

Gerai tekukan rambutnya suci

Sesuci kain pembungkus ujudmu

Rasa ciptanya sangatlah beraneka

Menyatu dengan kodrat alam sekitar

Jari jemarinya berbau getah hutan

Peluh tersentuh angin laut

Lihatlah ibu Indonesia

Saat penglihatanmu semakin asing

Supaya kau dapat mengingat

Kecantikan asli dari bangsamu

Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif

Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia

Aku tak tahu syariat Islam

Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok

Lebih merdu dari alunan azan mu

Gemulai gerak tarinya adalah ibadah

Semurni irama puja kepada Illahi

Nafas doanya berpadu cipta

Helai demi helai benang tertenun

Lelehan demi lelehan damar mengalun

Canting menggores ayat ayat alam surgawi

Pandanglah Ibu Indonesia

Saat pandanganmu semakin pudar

Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu

Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya.

Catatan sejarah

Kembali ke permasalahan membanding-bandingkan Sukarno dan Nabi Muhammad. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Hidayat Nur Wahid berkomentar pedas ihwal ini. Ia mengaku bersyukur proklamator kemerdekaan Indonesia adalah Sukarno, bukan Sukmawati. Menurut Hidayat Nur Wahid, Sukarno memiliki keyakinan akan keagungan Nabi Muhammad. Tak seperti Sukmawati.

"Untungnya Bapak Bangsa & Proklamator Indonesia bukan Sukmawati, tapi adalah Bung Karno. Tokoh yang sangat akui Nabi Muhammad SAW, dan nyatakan kita sebagai Umat Islam, harus katakan Muhammad adalah Pemimpin Besar & Terbesar, tak ada Pemimpin yang lebih besar dari Muhammad SAW”.#JasMerah," kicau Hidayat Nur Wahid di akun Twitternya.

Lantas, sebenarnya bagaimana Sukarno menempatkan Nabi Muhammad dalam kehidupannya? Kita cari tahu. Barangkali, Sukmawati bisa belajar menghargai keyakinan orang lain. Termasuk keyakinan ayahnya sendiri pada sosok Nabi Muhammad.

Sejarah mencatat kisah ketika Sukarno menunaikan ibadah haji pada tahun 1955. Saat itu, Sukarno melepas segala atribut pangkat kenegaraannya ketika menghampiri makam Nabi Muhammad. Kisah ini diceritakan oleh Sayyid Husein Muthahar yang ikut dalam rombongan Sukarno.

Diceritakan dalam buku yang ditulis Mangil Martowidjojo rilisan 1999, Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967, Sukarno bertanya perihal keberadaan makam Nabi Muhammad kepada Raja Saud bin Abdul Aziz saat keduanya berjalan di Kota Madinah. Saud pun menjawab bahwa lokasi makam sudah terlihat dari tempat mereka berdiri.

Sukarno saat menunaikan ibadah haji (Commons Wikimedia)

Mengetahui bahwa ia sudah dekat dengan makam Nabi Muhammad, Sukarno seketika melepas atribut dan pangkat kenegaraannya. Saud kemudian bertanya kepada Sukarno perihal kenapa ia melepas segala atribut kebesarannya itu.

Sukarno menjawab: Yang ada di sana itu Rasulullah SAW. Pangkatnya tentu jauh lebih tinggi dari kita.

Usai melepas atribut dan pangkat kenegaraannya, Sukarno merangkak menghampiri makam Nabi Muhammad. Saat berdoa di sebelah makam Nabi Muhammad, Sukarno bahkan tak kuasa menahan tangisnya. Menurut Sayyid Husein, Sukarno amat menghormati dan mencintai Nabi Muhammad.

Gambaran penghormatan dan kecintaan Sukarno tak hanya tergambar dari kunjungannya ke makam Nabi Muhammad. Dalam sejumlah pidatonya, Sukarno juga kerap mengagungkan Nabi Muhammad, Pada peringatan hari Maulid Nabi Muhammad tahun 1963, misalnya.

"Jikalau engkau benar-benar merayakan Maulud Muhammad Bin Abdullah, jikalau engkau benar-benar merayakan Rasulullah, dia punya hari maulid. Kerjakanlah apa yang ia perintahkan. Kerjakanlah perintah agama yang ia bawa. Kerjakan sama sekali, agar benar-benar kita menerima api dari agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW," serunya.

Tiga tahun berselang, di peringatan hari Maulid Nabi 1966, Sukarno kembali mengangkat keagungan Nabi Muhammad dalam pidatonya. Sukarno menceritakan tentang perjuangan tiada henti Nabi Muhammad.

"Umat Muhammad ialah umat yang bertempur berjuang membanting tulang, mengulur tenaga, memeras ia punya keringat. Itu lah umat Muhammad. Itu sebabnya, aku begitu cinta keadaan Muhammad dan mengikuti sunah Muhammad itu tadi," serunya.