Sudah Saatnya Menerapkan Zero Waste untuk Perangi Sampah

Bandung, era.id - Persoalan sampah yang terus dibicarakan di banyak forum sebetulnya sangat dekat dengan kita kehidupan sehari-hari. Bisa dibilang setiap hari manusia memproduksi sampah, baik sampah organik maupun non-organik.

Menghadapi persoalan sampah yang hampir mustahil diatasi itu, muncul gaya hidup zero waste alias tidak nyampah atau nol sampah. Kok bisa? Aktivis Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB), Anilawati Nurwakhidin, bilang munculnya prinsip zero waste dilatarbelakangi kehidupan manusia sendiri.

Pada masa primitif atau tradisional, gaya hidup manusia masih bersifat organik atau alami, termasuk soal sampah. Sampah yang dihasilkan manusia di masa lalu masih bersifat organik seperti daun untuk bungkus, makan pakai piring dari batu atau tanah liat, dan semua peralatan manusia masih bersumber dari kayu, bambu, batu dan bahan-bahan alami lainnya. Barang-barang tersebut tidak menimbulkan dampak lingkungan berarti karena sampahnya.

Para leluhur manusia kekinian tentu saja tidak menggunakan plastik atau sampah non-organik. Plastik dan benda-benda yang sulit diurai alam lainnya baru digunakan di masa industrialisasi dan modernisasi. Bahan plastik dan limbah beracun lainnya semakin marak dipakai di masa kini. Semua itu bersumber dari perut bumi lewat praktik pertambangan.

"Lalu muncul berbagai macam turunan plastik seperti pipa pvc, batrei, asbes, kaca, dan lain-lain. Kekuatan sampah zaman ini berbeda dengan dulu. Sekarang banyak sampah kimia yang mengandung banyak racun," ucap Anilawati Nurwakhidin di Bandung, baru-baru ini.

Ia menuturkan, ada sampah non-organik yang jika terbakar menimbulkan racun pemicu kanker (dioxin), cacat pada bayi, dan autisme. Ia juga menyebut banyak sampah non-organik yang mengandung logam berat seperti merkuri, timbal, dan lainnya, yang jika dihirup bisa merusak kesehatan.

"Sampah saat ini menimbulkan penyakit yang belum dikenal sebelumnya, sama halnya seperti kita enggak pernah kenal plastik sebelumnya. Sampah dampaknya sangat dahsyat, bukan hanya sekedar kotor dan bau," katanya.

Dengan latar belakang itulah, muncul prinsip hidup zero waste yang berusaha mempraktikkan gaya hidup organik, sekaligus mencegah dan mengurangi aktivitas yang bisa menghasilkan sampah non-organik seperti plastik dan kawan-kawannya.

Penerapan zero waste minimal bisa dimulai dari lingkup terkecil masyarakat alias keluarga. Jika sulit dilakukan di lingkup keluarga, cara ini bisa diterapkan mulai diri kita sendiri.

Langkah pertama untuk mempraktikkan zero waste ialah dengan melakukan pemisahan sampah organik dan non-organik di rumah. Caranya, di dalam rumah minimal memerlukan dua tong sampah, yakni tong sampah organik (sisa makanan dapur seperti nasi, sayuran dll) dan tong untuk menampung sampah non-organik (berbagai jenis plastik dll).

Menurut Anilawati, sampah rumah tangga 50 persennya berupa sampah organik. Sampah organik ini harus diolah sendiri lewat metode pengkomposan yang disebut takakura. Lalu, 50 persen sampah di rumah kita adalah bersifat non-organik. Sampah non-organik ini juga harus kita pilah sendiri mana yang bisa didaur ulang dan mana yang tidak.

Ilustrasi (Iman Herdiana/era.id)

Dari 50 persen sampah non-organik, kurang lebih 20 persennya berupa sampah non-organik yang bisa didaur ulang seperti botol air mineral atau minuman, gelas plastik, ember, dll. Setelah dipilah, sampah daur ulang ini bisa dijual atau bisa dikasihkan ke tukang rongsokan.

Setelah mengolah sampah non-organik daur ulang, masih ada sisanya 30 persen lagi berupa sampah non-organik yang tak dapat didaur ulang. Sampah inilah yang masuk tong sampah yang nantinya akan dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA). Dengan begitu, jika semua orang melakukan pemilahan sampah, maka TPA-TPA tidak akan mengalami lonjakan kapasitas.

Di saat melakukan pemilahan sampah dalam skala rumah, kamu bisa mulai belajar menerapkan prinsip zero waste. Prinsip ini memperhitungkan segala tindakan yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan sikap hidup yang selaras dengan alam. Salah satunya, bagaimana hidup kita tidak memproduksi sampah baru.

"Kurangi sampah yang dimulai dari saat ketika akan mengonsumsi makanan, pakaian, transportasi, dan hal-hal lainnya," terangnya.

Sebagai contoh, lanjut Anilawati, biasakan membawa kantong sendiri ketika berbelanja. Ini untuk menghindari kantong plastik. Jika membeli biskuit, belilah biskuit yang isinya banyak atau biskuit kiloan yang bisa diwadahi dengan wadah yang sudah kita siapkan (tumbler).

Dalam memilih pakaian, kamu bisa coba membeli baju bekas. Sebab, dengan membeli baju bekas yang masih layak pakai, kamu akan memperpanjang umur baju. Sementara jika membeli baju baru, kamu telah memakai sumber daya alam baru. Karena baju kan bersumber dari alam. Selain itu, baju baru biasanya dibungkus plastik yang berpotensi menjadi sampah.

Begitu juga dalam memilih HP, televisi, radio, motor, mobil dan lain-lain, disarankan agar membeli yang bekas. Karena barang-barang elektronik ini memakai bahan yang bersumber dari pertambangan perut bumi. "Dengan begitu, produk yang dikonsumsi tidak lagi menimbulkan sampah baru sekaligus menerapkan prinsip daur ulang," lanjutnya.

Anilawati mengakui, penerapan prinsip zero waste memang berat dan repot. Namun mengingat bahaya sampah non-organik sangat nyata, tentu prinsip ini perlu dijalankan. 

“Memang enggak ada yang simpel untuk perubahan gaya hidup yang terbangun oleh kebiasaan bertahun-tahun. Tetapi bagaimana caranya masalah sampah ini bisa diurus di lingkup keluarga. Memang kalau di keluarga doang mungkin belum ada pengaruhnya, tapi jika di lingkup RW atau sekolah, dan seterusnya, akan berpengaruh.”

Tag: berdamai dengan sampah plastik sampah