Pilkada Asimetris: Kata Baru, 'Barang' Lama
Pilkada asimetris adalah sistem yang memungkinkan adanya perbedaan mekanisme pelaksanaan pilkada di tiap daerah. Perbedaannya, sistem Pilkada akan ditentukan sesuai karakteristik tertentu seperti kekhususan dalam aspek administrasi, budaya ataupun aspek strategis lainnya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai jika pemerintah ingin menerapkan mekanisme pemilihan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain, maka mutlak dilakukan secara inklusif dan jangan sampai menimbulkan diskriminasi antar daerah serta tidak bersifat subyektif.
"Keputusan Kemendagri harus dibuat secara partisipatoris dengan melibatkan para pemangku kepentingan yang ada secara optimal. Bukan sebagai sebuah keputusan yang tergesa-gesa," ujar Titi saat dihubungi era.id, Jumat (22/11/2019).
Pasalnya, kata Titi, saat ini terdapat beberapa daerah yang memiliki kekhasan terkait mekanisme pemilihan di daerahnya dikarenakan landasan kekhususan berkaitan dengan sejarah politik, sosial, dan kultural di daerahnya. Misalnya seperti Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Aceh yang merupakan daerah khusus atau istimewa.
Sehingga, jika pilihan Pilkada asimetris itu diambil, maka sifatnya adalah temporer sembari pemerintah menyiapkan segala instrumen yang ada. Tujuannya, agar hak politik rakyat kemudian bisa difasilitasi langsung sebagaimana mekanisme pemilihan yang ada.
Sebenarnya Pilkada asimetris bukan lah hal yang baru, bahkan beberapa daerah pun saat ini sudah menjalankan Pilkada asimetris. Ia mencontohkan Pilkada di Provinsi Aceh dengan keberadaan partai politik lokal, Pilkada Yogyakarta yang tanpa Pilgub, dan Pilkada DKI dengan tanpa Pilbup/Pilwakot. Bahkan Pilkada di Papua juga asimetris, di mana calon gubernur dan wakil gubernur harus orang aseli Papua sebagaimana diatur UU 21/2001.
"Namun pilihan itu didasarkan oleh sejarah panjang politik dan sosial kultural suatu daerah. Bukan karena kebijakan elit semata yang datang tiba-tiba," kata Titi.
Terkait dengan evaluasi dari Pilkada langsung yang menurut pemerintah lebih banyak negatifnya, menurut Titi seharusnya dilakukan berdasar prinsip untuk memperkuat kualitas demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang demokratis.
"Bukan malah mempersempit ruang kontrol publik untuk memastikan bahwa kebijakan publik benar-benar berorientasi untuk pelayanan publik, anti korupsi, dan tata kelola pemerintahan yang baik," papar Titi.
"Indikator evaluasi juga harus komprehensif dan tidak parsial, dengan proses yang partisipatif, terbuka, dan akuntabel. Bukan sekedar diputuskan segelintir orang secara elitis," tambahnya.
KPU Ikut Keputusan DPR
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara Pemilu tak banyak berkomentar terkait ide Pilkada asimetris yang dicetuskan Mendagri Tito Karnavian. Namun KPU menyatakan masih siap menyelenggarakan Pilkada langsung.
"Oiya, sampai hari ini KPU menyatakan siap menyelenggarakan Pilkada langsung," ujar Ketua KPU Arief Budiman di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/11).
Sebelumnya, Tito menawarkan tiga opsi penyelenggaran Pilkada di Indonesia. Ia menyebut ada tiga opsi yaitu Pilkada langsung dengan mengurangi efek negatifnya, Pilkada kembali ke DPRD, atau Pilkada asimetris.
Terkait hal itu, Arief menyerahkan keputusan tersebut kepada pembuat Undang-Undang. Menurutnya, KPU hanya mengevaluasi teknis pelaksanaannya dan menjalankan teknis-teknis tahapan itu di lapangan.
"Tapi pemilihan langsung atau tidak langsung kami serahkan ke pembuat UU, tapi KPU memberikan catatan bagaimana melaksanakannya," kata Arief.
Didukung PDIP, Ditolak Parpol Lain
Usulan Mendagri Tito Karnavian tentang Pilkada asimetris pun mendapat tanggapan beragam dari sejumlah partai politik. Ada yang mendukung, tapi tak sedikit yang menolak.
Satu-satunya parpol yang mendung pilkada asimetris adalah PDIP. Partai berlambang banteng ini sepemikiran dengan Tito bahwa Pilkada langsung memiliki potensi konflik karena tinggi biaya politik yang dikeluarkan dan polarisasi masyarakat.
"Daerah-daerah yang potensi konfliknya besar, maka di daerah tersebut dengan hikmat kebijaksanaan, kita galakkan pemilu asimetris," ujar Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto melalui keterangan tertulisnya, Selasa (19/11).
Hasto mengatakan kecenderungan pilkada langsung berbiaya tinggi. Sehingga kerap kali pilkada langsung menghadirkan investor politik untuk membiayai pertarungan antarcalon.
Hal ini berdampak ketika pemenang pilkada menjabat, eksploitasi sumber daya alam daerah terjadi demi membayar kembali biaya pilkada dimaksud.
"Karena kepentingan investor politik sehingga di daerah dilakukan berbagai eksploitasi alam luar biasa. Mengeruk kekayaan alam kita luar biasa karena Pilkada dengan biaya politik mahal," ujar Hasto.
Namun hal itu justru ditentang oleh rekan sesama koalisi pemerintah. Salah satunya adalah PPP yang menilai semua daerah hadus memiliki aturan hukum yang sama dalam pelaksanaan pemilu.
Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani mengatakan akan sangat sulit menentukan daerah mana yang bisa melakukan Pilkada langsung dan yang tidak bisa. Karena banyak yang mengukur secara kualitatif bukan kuantitatif.
"Saya melihat ada kesulitan, ada persoalan kalau pengaturannya pembedaan antara daerah yang bisa Pilkada langsung dengan yang tidak bisa Pilkada langsung," kata Arsul di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/11).
Selain itu, Arsul menilai Pilkada asimetris bakal mudah digugat di Mahkamah Konstitusi. Karena dianggap terjadi diskriminasi ham politik warga negara.
"Secara konstitusional mudah di-challange. Prinsip persamaan di hadapan hukum itu kan menyangkut juga hak-hak hukum hak politik juga itulah yang saya lihat persoalannya," kata Arsul.
Sementara anggota Komisi II DPR RI Fraksi Golkar Zulfikar Arse Sadikin menyebut usulan Tito tidak tepat diaplikasikan pada sistem Pilkada di Indonesia.
"Asimetris itu enggak tepat untuk Pilkada. Asimetris itu untuk otonomi daerah," kata Zulfikar.
Selain Pilkada asimetris, menurut Zulfikar, usulan Pilkada dikembalikan kepada DPRD justru bisa melukai demokrasi dan hak rakyat. Karena kebebasan masyarakat memberikan suara justru dirampas.
"(Pilkada lewat DPRD) bagi saya sama saja dengan merampas hak rakyat yang selama ini sudah di nikmati," pungkasnya.