Hari AIDS di Indonesia: Perayaan, Stigma dan Harga Obat yang Mahal
Hari AIDS Sedunia diperingati tiap 1 Desember sejak 1988 bertujuan agar dunia bersatu melawan HIV dan AIDS, memberi dukungan semangat kepada orang-orang dengan HIV-AIDS, dan untuk menghormati mereka yang telah meninggal akibat AIDS. Karenanya ini bukanlah sebuah perayaan walaupun dalam perjalanannya, Hari AIDS Sedunia dijadikan sebagai ajang perayaan.
Dalam sejarahnya, kasus AIDS pertama di Indonesia dilaporkan secara resmi pada 1987. Indonesia menjadi negara ke-13 di Asia yang pemerintahnya melaporkan kasus HIV-AIDS ke Badan Kesehatan Dunia (WHO). Sejak itu, Kementerian Kesehatan RI melaporkan secara berkala akumulasi temuan kasus HIV dan AIDS di dalam negeri. Ini berarti, penanggulangan AIDS di Indonesia sudah berlangsung lebih dari 30 tahun.
Pada 2016, Kementerian Kesehatan RI memperkirakan 640.443 orang hidup dengan HIV-AIDS di Indonesia. Hingga September 2019, kementerian ini melaporkan hanya 57 persen atau 363.526 orang yang mengetahui kalau dirinya mengidap HIV. Lalu hanya 19 persen atau 121.927 orang dengan HIV-AIDS (ODHA) yang memperoleh pengobatan antiretroviral (ARV). Terakhir, capaian untuk tidak terdeteksinya jumlah virus pada ODHA yang ikut terapi ARV hanya 1 persen atau 5.170 orang.
Rumah Cemara menilai hal itu sebagai “Kenyataan getir karena dari data tersebut, 518.516 ODHA di Indonesia saat ini tidak memperoleh layanan kesehatan HIV.”
Pada 2016, seluruh negara anggota PBB menyepakati sebuah komitmen global yang dinamakan The 2016 Political Declaration on Ending AIDS. Dalam komitmen ini, seluruh negara berkomitmen untuk mengakhiri epidemi AIDS pada 2030. Salah satu target pada komitmen tersebut adalah pencapaian 90-90-90 pada 2020, yaitu, 90 persen ODHA tahu mereka mengidap HIV, 90 persen ODHA mendapatkan pengobatan ARV, dan 90 persen ODHA yang melakukan terapi ARV jumlah virus dalam tubuhnya tidak terdeteksi.
Indonesia berada dalam krisis karena di sisa 12 bulan sejak hari ini, target pencapaian 90-90-90 negara ini hanya mencapai 57-19-1. Hal ini membuat Indonesia dinilai sebagai negara terburuk keempat dalam pencapaian jumlah ODHA yang memperoleh pengobatan ARV. Indonesia hanya lebih baik dari Madagaskar, Pakistan, dan Sudan Selatan.
Selain itu Program Gabungan PBB untuk HIV-AIDS (UNAIDS) melaporkan, di Indonesia terdapat 46.000 infeksi HIV baru pada 2018. Ini angka terbesar ketiga se-Wilayah Asia Pasifik. Angka kematian terkait AIDS di Indonesia pada 2018 meningkat 58 persen dari 2010, yakni dari 24.000 menjadi 38.000 kasus.
Untuk itu, Rumah Cemara mengajak seluruh elemen masyarakat dan komunitas terdampak HIV untuk lebih kritis dalam memperingati Hari AIDS Sedunia. Terlebih di tengah kenyataan getir pada tahun ini.
“Saat ini, bukan waktunya untuk sebuah perayaan. Negara ini sedang menghadapi krisis. Krisis atas sebuah sistem kesehatan negara yang telah terbukti gagal melindungi hak-hak warganya, hak yang paling mendasar, hak atas kesehatan,” tutur Aditia Taslim, Direktur Eksekutif Rumah Cemara dalam siaran persnya.
Adit menambahkan, permasalahan yang sedang dihadapi bukan hanya soal kesehatan, namun ada faktor-faktor penentu lainnya yang hingga saat ini masih menjadi hambatan besar.
“Faktor-faktor seperti peraturan dan undang-undang yang masih bersifat menghukum dan mengkriminalisasi, komitmen dan kemauan politik yang sangat lemah menyebabkan tidak adanya pemimpin negara yang berani mengambil sebuah sikap, stigma dan diskriminasi yang masih sangat tinggi di lingkungan sosial, pendidikan, pekerjaan dan bahkan di layanan kesehatan sekalipun,” pungkasnya.
Rumah Cemara menyatakan tanpa adanya perubahan secara dramatis, Indonesia akan gagal menanggulangi HIV- AIDS. Untuk itu, Rumah Cemara menuntut pemerintah mengatasi hambatan struktural, yakni revisi peraturan dan Undang-undang yang memidanakan (mengkriminalisasi) dan menghambat program penanggulangan HIV-AIDS, termasuk peraturan-peraturan daerah yang tidak konsisten dengan komitmen Indonesia dalam pemenuhan hak asasi manusia.
Pemerintah diminta menunjukkan komitmen dan kemauan politik. Tanpa adanya pemimpin negara yang berani secara terbuka menyatakan dukungan penuh, pelaksanaan program HIV akan tetap menemui banyak hambatan.
Pemerintah juga dituntut melindungi ODHA dari stigma dan diskriminasi dengan membentuk mekanisme perlindungan yang dijamin oleh negara.
Selain itu, Rumah Cemara meminta pelaksanaan Program Test and Treat secara menyeluruh untuk memastikan bahwa seluruh ODHA yang mengetahui statusnya langsung mendapatkan pengobatan ARV.
Mengenai persoalan obat, Rumah Cemara menuntut penurunan harga obat ARV, obat terapi HIV. Obat ARV yang dijual di Indonesia dibanderol sampai 2,5 kali lipat dari harga pasar. Penurunan harga obat dapat mendorong jumlah ODHA yang mendapatkan pengobatan ARV tanpa harus menambah beban biaya yang dikeluarkan oleh negara.
Masih soal obat, pemerintah diminta memenuhi rekomendasi WHO untuk mendapatkan obat ARV terbaru. Salah satu obat ARV terbaru, Dolutegravir (DTG), dinilai memiliki banyak keuntungan. Selain harga yang lebih murah, DTG juga memiliki tingkat efektivitas yang tinggi sehingga dapat menekan jumlah virus HIV dengan waktu yang lebih cepat, lebih dapat ditoleransi dengan efek samping yang lebih sedikit atau bahkan ringan, dosis satu kali sehari sehingga dapat menurunkan resiko lupa, memiliki lebih sedikit interaksi dengan obat lain sehingga aman jika digunakan bersamaan dengan obat lain, serta tingkat resistensi yang rendah membuat jenis obat ini menjadi lebih efektif untuk penggunaan jangka panjang.
Untuk anak-anak, Rumah Cemara meminta penyediaan ARV khusus untuk anak. Saat ini anak-anak yang hidup dengan HIV di Indonesia tidak memiliki akses terhadap obat ARV khusus anak. Penggunaan obat dewasa yang dosisnya disesuaikan memiliki resiko atas ketidakakuratan dosis serta kesulitan dalam pemberian obat. Hal ini dapat berisiko pada resistensi obat ARV.
Tuntutan lainnya ialah pemenuhan komitmen Universal Health Coverage (UHC). Indonesia baru saja menandatangani komitmen bersama negara-negara anggota PBB untuk Universal Health Coverage (UHC). UHC harus mencakup pelayanan kesehatan HIV termasuk diagnosis, tes penyerta, pengobatan dan alat-alat pencegahan. Selain itu, negara harus mendahulukan komunitas yang kerap termarginalkan demi pemenuhan prinsip UHC, yaitu to leave no one behind dan tanpa membebani biaya tambahan.
Terakhir, Rumah Cemara menuntut pemenuhan komitmen Deklarasi Paris 1994 - Greater Involvement of People Living with HIV (GIPA). GIPA menuntut negara untuk melibatkan ODHA dan populasi yang menjadi kunci keberhasilan program penanggulangan AIDS secara bermakna. Caranya adalah dengan meningkatkan kapasitas dan koordinasi organisasi juga jaringan komunitas ini secara penuh dalam respons terhadap persoalan HIV-AIDS di seluruh tingkatan. Hal ini akan memastikan terciptanya lingkungan politik, hukum, dan sosial yang mendukung.
Secara spesifik, investasi negara untuk GIPA yaitu agar setidaknya 30 persen kegiatan program penanggulangan AIDS dilaksanakan komunitas ODHA dan populasi kunci serta 6 persen dari seluruh anggarannya ditujukan untuk advokasi (Paragarf 60 [d] Deklarasi Politik HIV-AIDS 2016).
Secara umum, GIPA juga berupa pelibatan komunitas ini dalam pengambilan keputusan, penghapusan kebijakan dan aturan yang merugikan, pelibatan mereka dalam perancangan kebijakan-kebijakan baru, serta pengakuan dan penggunaan data yang dimiliki komunitas ini sebagai referensi untuk pengambilan keputusan.
Di akhir siaran persnya, Rumah Cemara mengingatkan gerakan global HIV-AIDS diawali pada 1983 dengan sebuah manifesto yang dikenal sebagai The Denver Principles. Di dalamnya ada sebuah prinsip harus diingat sampai sekarang yakni, “Bahwa kami mengutuk keras pelabelan terhadap kami sebagai ‘korban’, sebuah kata yang mengartikan kekalahan, dan kami bukan hanya sekadar ‘pasien’, sesuatu yang berarti pasif, ketidakberdayaan, dan ketergantungan terhadap orang lain. Kami adalah orang dengan HIV-AIDS,” ucapnya.