Pengamat Intelijen di Balik Wacana Presiden 3 Periode
"Justru saya sebagai pimpinan DPR kaget, dengan wacana yang tiba-tiba muncul ke media. Kami di DPR belum pernah mengagendakan itu, dan tidak pernah menjadikan isu itu untuk wacana presiden periodenya tiga kali. Belum ada di salah satu agenda di DPR ini," ungkap Azis di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (3/12/2019).
Sedangkan partai Golkar, tak pernah membahas mengenai wacana perpanjangan masa jabatan presiden. Sejak awal fraksinya juga sudah menolak adanya amandemen.
"Fraksi Partai Golkar dalam hal ini telah mengeluarkan pandangan, pendapat, keputusan fraksi di mpr untuk tidak melakukan perubahan UUD di dalam keputusan fraksi Partai Golkar," ujar Korbid Golkar, Azis Syamsudin.
Senada dengan Golkar, PDI Perjuangan menyatakan wacana tersebut betengangan dengan semangat reformasi.
"PDI Perjuangan menegaskan komitmennya untuk mengawal spirit reformasi dengan tetap memastikan masa jabatan presiden dan wapres maksimum dua periode, dan sesudahnya tidak bisa dipilih kembali," ujar Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto melalui keterangan tertulisnya, Selasa (3/12).
Hasto mengatakan, meskipun partainya yang paling kencang mengusulkan amendemen terbatas. Namun PDIP tetap menginginkan presiden dan wapres tetap dipilih secara langsung dengan pembatasan masa jabatan maksimum dua periode.
"Karena itu, PDIP mewacanakan Pilpres tidak dilaksanakan secara serentak dengan Pemilu Legislatif," ujar Hasto.
Ditemui terpisah, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Didi Irawadi mengatakan partainya juga menolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Menurutnya, usulan tersebut bertentangan dengan semangat reformasi dan keinginan rakyat.
Didi menegaskan sikap Partai Demokrat sangat jelas bahwa masa kepimpinan presiden cukup dua periode.
"Pokoknya bagi Demokrat, kekuasaan presiden dua kali masa jabatan, 2x5 tahun sebagaimana amanah UU dan itu akan kita jaga pertahankan," ucapnya di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (3/12).
Lebih lanjut, Didi mengatakan, partainya juga menolak mekanisme pemilihan presiden kembali dipilih MPR. Hal itu, kata dia, akan merampas hak rakyat dalam pemilihan langsung.
Sementara itu, NasDem bersikap lebih terbuka dengan menyatakan tak tertutup kemungkinan isu tersebut dibahas. Ketua DPP NasDem Willy Aditya menilai wacana tersebut bisa saja diterapkan pada periode 'Pascajokowi'
"Sebagai sebuah diskusi wajar saja. Bukannya politik ide ini lantas disalahkan dan jangan dicurigai. Kan ini bukan ke pribadi Pak Jokowi. Nah, kalau ada presiden berikutnya kan (bisa diterapkan)," kata Willy'.
Willy menyarankan agar Jokowi tidak cepat baper, pasalnya aspirasi publik ini tak berkaitan dengan urusan personal Jokowi. "Itu adalah aspirasi masyarakat. Kalau dalam konteks itu Pak Jokowi tak usah baper ya. Itu justru aspirasi publik," pungkasnya.
Dihembuskan oleh pengamat intelijen
Isu wacana Presiden 3 periode pertama kali dihembuskan oleh pengamat intelijen Suhendra Hadikuntono. Dalam keterangan tertulis yang disebar ke berbagai media massa, ia mengusulkan agar MPR sekalian mengamendemen Pasal 7 UUD 1945 supaya presiden dan wakil presiden bisa menjabat tiga periode.
"Tanpa kesinambungan kepemimpinan Presiden Jokowi lima tahun lagi setelah 2024, saya khawatir berbagai proyek strategis nasional, salah satunya pemindahan ibu kota negara, tidak akan berjalan sesuai rencana. Jadi saya mengusulkan agar MPR mempertimbangkan untuk mengamendemen UUD 1945, khususnya agar presiden bisa menjabat tiga periode," jelas Suhendra, yang juga penggagas 'Sabuk Nusantara', dalam keterangan tertulis, Selasa (12/11) lalu.
Secara spesifik, Suhendra mengusulkan agar Pasal 7 UUD 1945 juga diamendemen agar presiden-wapres bisa menjabat tiga periode. "Saya meyakini usulan saya ini akan didukung oleh mayoritas rakyat Indonesia. Kalau rakyat menghendaki, apa salahnya MPR sebagai pemegang amanah rakyat mengimplementasikan kehendak rakyat?" ucap Suhendra.
Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo hanya menanggapi masalah ini dengan senyuman saja. Ia menegaskan bahwa dirinya adalah produk pemilihan langsung berdasarkan UUD 1945 pasca-reformasi.
"Sejak awal, sudah saya sampaikan, saya ini produk dari pemilihan langsung. Sehingga, saat itu ada keinginan untuk amendemen, jawaban saya, apakah bisa amendemen dibatasi untuk urusan haluan negara, jangan melebar ke mana-mana," kata Jokowi di Istana Presiden, Jakarta, Senin (2/12).
Jokowi mengaku sejak awal sudah memiliki kekhawatiran bahwa amendemen UUD 1945 yang berlangsung di Majelis Permusyawaratan Rakyat ini akan melebar, dan rasa khawatirnya kini menjadi kenyataan.
Oleh karena itu, ia menyarankan agar MPR membatalkan saja amendemen UUD 1945 jika usulan liar terus muncul. Menurutnya saat ini masih banyak tantangan dari luar yang harus dihadapi bersama semua komponen bangsa.
"Jadi, lebih baik tidak usah amendemen. Kita konsentrasi saja ke tekanan-tekanan eksternal yang bukan sesuatu yang mudah untuk diselesaikan," kata Jokowi.