Kritik Alam dari Garin Nugroho Lewat Pentas Planet-Sebuah Lament
"Pertunjukan ini mengisahkan ratapan alam karena keserakahan manusia yang menghancurkan alam, era ketika di mana bumi dipenuhi benda-benda perusak lingkungan dan menjadi monster yang tidak pernah mati," ungkap Garin di Jakarta, seperti dikutip Antara, Senin (16/12/2019).
Pertunjukan yang didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation, Arts Centre Melbourne dan Asia TOPA ini lebih mengedepankan tentang lament (ratapan) sebuah nyanyian untuk mencari planet yang dituntut untuk mencari pangan dan energi baru.
Kisah dimulai setelah adanya bencana tsunami, hilangnya peradaban yang menyisakan seorang manusia yang mencari harapan baru. Pada akhirnya, diceritakan lahirnya sebuah planet baru melalui proses jalan yang panjang penebusan seusai tsunami. Sebuah penebusan untuk mendapatkan kembali keseimbangan alam.
"Sebagai konsep visual, pertunjukan ini akan berkolaborasi dengan perupa dari Jogjakarta, Samuel Indratma dan dinarasikan lewat paduan suara serta nyanyian ratapan yang menjadi kekuatan utama sebagai narasi maupun ekspresi," kata Garin.
Pertunjukan ini juga mengandung unsur dari Indonesia Timur (Melanesia). Garin selaku sutradara juga mengkombinasikan elemen pergerakan tubuh dari tradisi Nusa Tenggara Timur hingga Papua dengan gerak tablo dan tubuh kontemporer yang dikoreografi Ontiel Tasman dan Boogie Papeda.
Gerakan ritmik dari penari ini juga akan diiringi musik yang digarap oleh tiga komposer muda, seperti Septina Layan, Taufik Adam dan Nursalim Yadi Anugerah. Pertunjukan juga dihidupkan dengan iringan Mazmur Chorale Choir asal Kupang yang pernah menjuarai World Choir Games pada 2014 lalu di Latvia.
Harga tiket pertunjukan ini terbagi atas empat tingkat, yaitu Bronze Rp250 ribu, Silver Rp450 ribu, Gold Rp700 ribu, dan Platinum Rp1 juta.