Potensi Bencana Yang Mengintai Jakarta
Jakarta, era.id - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo memberi imbauan kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta agar meningkatkan kesiapsiagaan dan waspada menghadapi sejumlah potensi ancaman bencana yang mengintai wilayah Ibu Kota Negara.
Dalam pertemuan bersama Kalakhar BPBD DKI Jakarta Subejo yang juga diikuti oleh para pimpinan dan staf serta sejumlah personel Pemadam Kebakaran DKI Jakarta, Kepala BNPB membuka paparan dengan mengingatkan kembali tentang rentetan bencana alam yang pernah terjadi di Jakarta sekaligus potensi ancaman ke depannya sebagai bahan pembelajaran.
Dalam catatan yang dipaparkan Mantan Komandan Jenderal Kopassus itu, wilayah Jakarta pernah diguncang gempa besar setidaknya tiga kali dalam jarak waktu sekitar satu abad per kejadian. Tiga gempa itu masing-masing-masing-masing terjadi pada 5 Januari 1699 kemudian 22 Januari 1780 dan 10 Oktober 1834.
Menurut penelitian lebih lanjut, Jakarta sendiri masih masuk dalam wilayah yang dipengaruhi oleh tiga zona patahan. Ketiga zona tersebut adalah Patahan Baribis, Patahan Kendeng dan Indo-Australia yang terletak di selatan Pulau Jawa. Oleh karena itu Kepala BNPB juga meminta agar BPBD DKI Jakarta juga mementingkan upaya mitigasi, khususnya untuk infrastruktur sarana transportasi massal dan obyek vital, karena bagaimanapun keselamatan masyarakat adalah tanggung jawab Pemerintah Daerah.
“Buat mitigasi khusus untuk transportasi umum seperti LRT, MRT, KRL. Karena tanpa ada mitigasi yang baik, para pengguna transportasi ini bisa terjebak dalam kondisi yang buruk jika terjadi bencana. Segera lapor ke Gubernur untuk mengambil langkah,” tegas Doni saat melakukan kunjungan kerja ke kantor BPBD DKI Jakarta, Jumat (27/12) sore.
Selain gempa bumi, potensi ancaman bencana bagi wilayah Jakarta juga datang dari gunung api.
Lulusan akademi militer angkatan 1985 itu kembali menyinggung peristiwa Gunung Krakatau yang meletus dan berdampak bagi wilayah Selat Sunda hingga Jakarta pada abad 18 silam.
Selain itu potensi gunung api juga bisa saja datang dari Gunung Gede Pangrango dan Gunung Halimun Salak.
Masih dalam kesempatan yang sama, jenderal yang sukses mempelopori program Citarum Harum itu juga memaparkan tentang fenomena pergerakan tanah berupa penurunan permukaan tanah yang terjadi di Ibu Kota khususnya di wilayah pesisir utara.
Penggunaan air tanah yang berlebihan dan pesatnya pembangunan gedung bertingkat menjadi faktor penyebab terjadinya fenomena tersebut.
Jakarta sendiri menjadi kota dengan penurunan tanah yang tercepat di dunia. Di sisi lain, kandungan air tanah di Jakarta sudah banyak tercemar oleh zat yang berbahaya.
“Penurunan muka tanah di Jakarta menjadi yang tercepat di dunia. Air tanah di DKI Jakarta juga sudah tercemar dan tidak layak konsumsi. Cisadane, Citarum dan Ciliwung menjadi tiga sungai besar yang melewati Jakarta dan mengandung timbal hingga merkuri,” ungkap Doni.
Masih dalam kaitan lingkungan, orang nomor satu di BNPB itu juga menyoroti buruknya kualitas udara karena polusi kendaraan bermotor dan minimnya hutan kota.
Oleh karena itu, Pemerintah Daerah diharapkan agar dapat menghijaukan kota dengan menanam pohon sebagai langkah solusi nyata atas pencemaran polusi udara yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan.
Tak hanya soal lingkungan, dalam uraiannya. Kepala BNPB juga menegaskan akan potensi ancaman bencana dari kegagalan teknologi dan ‘human error’. Hal tersebut sangat berpotensi terjadi mengingat banyaknya kawasan industri di seputaran Jabodetabek.
“Gagal teknologi bisa jadi ancaman terutama di wilayah barat kota Jakarta. Banyak sekali pabrik dan industri yang apabila terjadi kegagalan teknologi dapat menjadi potensi ancaman bagi Jakarta,” tambah Doni.
Menutup dari seluruh rangkaian paparan, Kepala BNPB secara serius menekankan tentang potensi bencana yang bahkan sudah kerap sekali terjadi di Ibu Kota, yakni banjir. Doni berpesan kepada BPBD dan Pemerintah Daerah DKI Jakarta agar serius mengatasi permasalahan yang ada setiap tahun tersebut.
Jakarta sebagai Ibu Kota Negara harus dijaga karena terdapat Istana sebagai simbol negara yang harus dilindungi.
“Jangan sampai air (banjir) masuk ke Istana. Karena Istana merupakan simbol negara kita,” tegas Doni.
Menurutnya BPBD harus mengambil langkah strategis lain selain koordinasi dan turun ke lapangan untuk pencegahan maupun penanggulangan dengan mengoptimalkan metode ‘pentahelix’.
Sebagai pemangku kewenangan daerah, BPBD dapat menggandeng peran media sebagai pengganda informasi mitigasi dan mengupayakan fungsi komunitas serta pemangku tokoh religi dalam setiap kegiatan keagamaan. Sehingga ke depan, Jakarta lebih tangguh dalam menghadapi sejumlah potensi ancaman bencana.