Penurunan Status Gunung Ciremai Bakal Ganggu Ekosistem
Penolakan penurunan status gunung api aktif yang berdiri di perbatasan Kabupaten Cirebon, Kuningan dan Majalengka Jawa Barat dari TNGC menjadi Tahura muncul dari koalisi masyarakat sipil PEMPROV Jawa Barat. Juru bicara koalisi ini, Dedi “Gjuy” Kurniawan bilang, penurunan status TNGC menjadi Tahura memiliki beragam implikasi negatif, yaitu terganggunya ekosistem dan habitat alami Gunung Ciremai.
Penurunan status juga akan berisiko pada aspek keselamatan manusia dari serangan hewan liar, penurunan kualitas fungsi ekologis, dan potensi intervensi masyarakat ke dalam kawasan tanpa pengawasan yang ketat.
“Kami simpulkan penurunan status TNGC akan jauh lebih banyak hal mudharat (kerugian) daripada manfaat yang bisa didapat,” kata Dedi, Jumat (7/2/2020).
Selain itu, perubahan TNGC menjadi Tahura tidak sesuai dengan RTRW Kabupaten Kuningan tahun 2011-2031. “Para pihak yang setuju penurunan status TNGC menjadi Tahura adalah para individu tidak prolingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan. Jika para individu ini kebetulan adalah tokoh/pejabat publik, maka kami nyatakan mereka sangat tidak layak sebagai pimpinan daerah di masa depan atau tidak layak untuk dipilih kembali sebagai wakil rakyat,” ungkapnya.
Koalisi PEMPROV Jawa Barat terdiri dari berbagai elemen organisasi lingkungan, yakni WALHI Jawa Barat, FK3I Jawa Barat, FK3I Kuningan, KPLHI, ForkadasC+, Aliansi Cagar Alam Jawa Barat, Blue Ocean, KMMP Lentera Sasak, Mahakupala, Palamus, PSDK DAS Citarum, Yayasan ProFauna, Yayasan Satubumi.id, Yayasan Pawapeling, Yayasan GGG.
Pernyataan koalisi tersebut sebagai respons terhadap Wakil Gubernur (Wagub) Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum yang sebelumnya menyatakan dukungannya terhadap keinginan Pemkab Kuningan yang ingin menurunkan status TNGC menjadi Tahura.
Pemkab Kuningan menginginkan status TNGC berubah menjadi tahura sebagai respons dari DPRD Kuningan di mana seluruh fraksi sepakat mengusulkan mengubah status TNGC. Selama 10 tahun terakhir gunung tersebut dikelola oleh Balai TNGC.
Sementara Pemerintah Provinsi Jawa Barat menginginkan polemik ahli fungsi TNGC menjadi Tahura agar dapat diselesaikan lewat koridor hukum. Semua pihak mesti duduk satu meja membahas peralihan tersebut secara komprehensif dengan tuntunan perundang-undangan.
Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, peralihan fungsi Taman Nasional menjadi Tahura sudah diatur secara rinci, berikut pemerintah yang berwenang.
"Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kuningan bisa mengusulkan kepada pemerintah pusat (soal peralihan fungsi TNGC). Usulan itu harus dilengkapi dengan hasil kajian yang komprehensif. Mulai dari ekologi, lokasi, sosial budaya, ekonomi," kata Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Epi Kustiawan.
Epi menekankan, proses peralihan fungsi TNGC menjadi Tahura akan memerlukan waktu yang lama setelah usulan masuk dari Kabupaten ke Kementerian Lingkungan hidup dan Kehutanan, KLHK akan membentuk tim terpadu yang terdiri dari berbagai Keahlian, Peneliti, Akademisi Pemerhati lingkungan dan lain lain.
"Hasil penelitian Tim terpadu akan dibahas kembali apakah Taman Nasional jadi Tahura, atau tidak perlu. Kajian yang se-objektif mungkin. Dan itu butuh proses panjang," ucapnya.