Perkenalkan Covidnearyou, Alat Tracking Korona Karya para Volunteer
Covidnearyou merupakan sebuah alat tracking yang diciptakan dari hasil kerja sama para volunteer dari perusahaan teknologi ternama, seperti Apple, Google, Alphabet, Amazon, CloudFlare, MongoDB, dan masih banyak lagi.
Bermula ketika Prem Ramaswari, seorang kepala produksi dari Alphabet Sidewalk Labs dan istrinya merasakan sakit lebih dari seminggu. Saat itu Ramaswari dan istrinya meminta kepada pihak kesehatan untuk mendapatkan tes COVID-19. Namun, dokter mereka menyatakan hal itu tidak mungkin terjadi lantaran Ramaswari tidak berhubungan secara langsung oleh pasien COVID-19.
Ramaswari yang pernah bekerja di proyek kesehatan Google pun menghubungi rekannya, John Brownstein, seorang ahli epidemiologi dan ahli inovasi di Boston Children’s Hospital. Keduanya pun memutuskan untuk bekerja sama membuat sebuah proyek kesehatan.
Brownstein yang sudah pernah bekerja sama dengan Google dan Uber dalam bidang kesehatan pun sebelumnya telah mengerjakan sebuah situs web tentang flu. Situs tersebut dikenal dengan nama flunearyou. Yang melakukan tracking influenza kepada tiap orang. Akhirnya Ramaswari dan Brownstein pun sepakat untuk mengembangkan sebuah situs web tracking COVID-19 dengan nama Covidnearyou.
Dalam pengembangan alat tracking tersebut, Ramaswari turut dibantu oleh para tenaga ahli teknologi di berbagai perusahaan teknologi ternama. Apple, Amazon, CloudFlare, Alphabet, MongoDB, dan sejumlah tenaga ahli di berbagai perusahaan pun turut membantu dan sepakat mengembangkan Covidnearyou.
“Saya orang teknologi, bukan dokter. Kami di sini untuk membantu para ahli medis dan mengikuti arahan mereka,” kata Ramaswari seperti dikutip dari CNBC.
Nantinya, covidneaeyou.org ini akan mengumpulkan data para pengguna mulai dari nama, alamat, usia, jenis kelamin, serta keterangan sudah atau belumnya menerima vaksin flu. Selain itu, bagi mereka yang merasa sakit harus mengisi pernyataan dan menjelaskan tentang kondisi kesehatannya terkait gejala COVID-19, seperti batuk, demam, flu, atau sesak napas.
Tidak hanya itu saja, para pengguna juga dimintai keterangan tentang perjalanan mereka baik ke dalam maupun luar negeri dan apakah mereka melakukan kontak fisik dengan siapa pun yang didiagnosis COVID-19.
“Tanpa pengujian luas, kami tidak memiliki gambaran yang jelas tentang di mana penyakitnya. Kami berjalan tanpa arah,” jelas Brownstein.
Hingga saat ini, sedikitnya sudah lebih dari 100.000 orang telah berpartisipasi dan mengisi data mereka untuk memudahkan tracking. Mayoritas dari para partisipan memiliki hasil yang baik dan sehat.
“Banyak dari kita yang mengerjakan ini dari jam 3 sore hingga 9 malam setelah bekerja,” kata Ramaswari.
Selain gejala-gejala yang disebutian di atas, menurut para ahli kesehatan data tersebut perlu ditambahkan dengan masalah pencernaan dan penciuman. Kedua gejala tersebut pun masuk ke dalam gejala COVID-19. Jika melihat daftar gejala, kasus ini hampir mirip dengan gejala DBD, yang juga kerap terjadi di beberapa pasien yang kemudian dinyatakan positif COVID-19.
Langkah maju dari para volunteer perusahaan teknologi ternama ini bisakah direalisasikan di Indonesia? Tentu hal ini untuk membantu Pemerintah dalam melakukan tracking COVID-19 dan mengurangi penyebaran virus tersebut. Akankah para ahli teknologi bergerak bersama demi kepentingan dan kesehatan banyak orang?