Membantah Argumen Trump Soal Korona Bisa Mati di Cuaca Panas
Sebuah penelitian ilmiah mengatakan kepada White House bahwa virus korona tidak akan hilang begitu cuaca mulai memanas. Dilansir dari CNN, dalam surat mereka kepada Gedung Putih, anggota komite National Academy of Sciences (NAS) mengatakan bahwa data mengenai apakah virus korona dapat mati ketika cuaca panas masih menjadi simpang siur.
"Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa virus korona dapat kurang efesien mentransmisikan di lingkungan dengan suhu dan kelembaban sekitar yang lebih tinggi. Namun, mengingat kurangnya imunitas inang secara global, pengurangan efisiensi transmisi ini mungkin tidak mengarah pada pengurangan signifikan dalam penyebaran penyakit tanpa adopsi intervensi kesehatan masyarakat secara bersamaan," tulis peneliti dalam surat itu.
Misalnya, sebuah studi tentang wabah di China menunjukkan bahwa di bawah kondisi suhu dan kelembaban maksimum, virus menyebar "secara eksponensial" dengan rata-rata orang yang terinfeksi bisa menyebarkan hampir ke dua orang lainnya.
William Schaffner, seorang spesialis penyakit menular di Vanderbilt University Medical Center dan bukan anggota komite NAS mengatakan meskipun kita berharap cuaca akan memberikan kontribusi pada pengurangan penularan, kita tidak bisa bergantung pada itu saja. Kita harus terus menerapkan social distancing dan langkah-langkah lain untuk mengurangi penularan.
Sebelumnya, ketika rapat umum politik di New Hampshire, Presiden Trump mengatakan virus korona akan surut dengan cuaca sangat hangat.
"Banyak orang berpikir itu hilang pada bulan April sebab terik, seiring cuaca panas datang. Khususnya, itu akan hilang pada bulan April," katanya pada 10 Februari dalam sambutan.
"Sepertinya pada bulan April, tahukah kalian secara teori virus berada di tempat hangat secara ajaib akan hilang," lanjutnya.
Trump berujar serupa untuk ketiga kalinya di Fox News. "Konon di bulan April, ia mati dengan cuaca yang lebih panas. Tunggu tanggal yang indah untuk dinanti-nantikan," katanya.
Schaffner, seorang penasihat Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat, mencatat bahwa laporan NAS memberikan penilaian lebih serius tentang situasi ini daripada mempercayai Trump.
"Presiden berjalan di sisi jalan yang cerah dan ini membawa kita ke sisi jalan yang teduh," kata Schaffner.
"Itu membuat kita sadar bahwa musim semi sepertinya tidak akan menjadi solusi total." lanjutnya
Surat dari para ilmuwan NAS mencatat bahwa beberapa studi laboratorium telah menunjukkan pengurangan penularan virus di bawah kondisi lebih panas dan lembab, tetapi itu masih memprihatinkan.
Chad Roy, seorang peneliti di Universitas Tulane menjelaskan bagaimana menularkan virus ke suhu panas dan lembab di laboratorium, dan ia mempelajarinya selama 16 jam.
Roy menjelaskan bahwa virus korona hidup lebih lama di flu, monkeypox, tuberculosis atau sindrom pernapasan akut. Menurut surat dari Komite NAS menyatakan virus menular ini muncul sebagai ancaman kesehatan di abad 21.
Para ilmuwan mengirim surat kepada Kelvin Droegemeier di White House Office of Science dan Technology Policy. Surat itu menyatakan di dunia nyata, virus masih menular di negara-negara dengan cuaca panas.
"Mengingat bahwa negara-negara yang saat ini berada dalam iklim musim panas, seperti Australia dan Iran mengalami penyebaran virus yang cepat. Penurunan kasus akibat peningkatan lembab dan suhu di tempat lain tidak boleh diasumsikan," menurut surat itu.
David Relman, seorang spesialis penyakit menular di Universitas Stanford mencatat meskipun belum musim panas di Iran, kuncinya adalah penyakit tidak berkorelasi baik dengan suhu lingkungan dan kelembaban.
Paul Offit, seorang spesialis penyakit menular, mencatat sementara ini virus korona yang menyebabkan flu biasa bersifat musiman. Virus korona baru ini berbeda karena berasal dari hewan, bukan manusia.
"Tidak jelas bagaimana virus ini akan bertindak," kata Offit, seorang profesor pediatri di Children's Hospital of Philadelphia.