Cara Kerja Dexamethasone Sembuhkan Pasien COVID-19 yang Kritis
Meski bukan obat baru, Dexamethasone terbukti mampu mengurangi tingkat kematian akibat infeksi virus korona baru. Sebuah studi yang dilakukan tim peneliti dari Oxford University terhadap Dexamethasone menunjukkan, pasien COVID-19 dengan bantuan ventilator (alat bantu pernapasan) berkurang mortalitas atau kematiannya.
Prof. Dr. apt. Elin Yulinah Sukandar dari Kelompok Keilmuan Farmakologi Farmasi Klinik Sekolah Farmasi ITB membeberkan bagaimana cara kerja Dexamethasone terhadap pasien COVID-19 yang kritis atau terancam gagal napas.
“Ditinjau dari mekanisme kerjanya saya setuju dexamethasone dapat mengurangi kematian pada pasien COVID-19 yang kritis, mengingat dexamethasone adalah obat antiinflamasi golongan kortikosteroid, glukokortikoid sintetik, dengan mekanisme kerja mengurangi inflamasi (peradangan),” terang Prof Elin, kepada era.id, Jumat (19/6/2020).
Ia menjelaskan, COVID menyebabkan paru dan saluran napas meradang. Hal ini membuat aliran udara dan oksigen terhambat. Dengan melonggarkan jalan napas maka pasien bisa terhindar dari kematian. “Dengan mengurangi inflamasi, aliran oksigen pada pengguna oksigen dan ventilator akan lebih baik, mengurangi sesak napas,” tambah Elin.
Di dunia medis, Dexamethasone sudah lama dikenal sebagai obat antiradang atau antiinflamasi, antialergi dan mampu menekan imunitas. Obat yang disebut 'obat dewa' ini bisa dipakai untuk terapi pasien asma, bronkhial, rhinitis, dermatitis. Sedangkan efek menekan imunitasnya berfungsi untuk mengatasi pasien dengan penyakit autoimum seperti lupus dan psoriasis.
Dexamethasone, kata Elin, memang tidak membunuh virus korona tapi menyembuhkan gejala yang diakibatkan oleh virus. Pada kasus COVID-19, Dexamethasone bukan meniadakan infeksi tetapi mengurangi dan menghambat inflamasi pada saluran napas.
Karena itulah Dexamethasone digunakan tidak tunggal, tapi dikombinasikan dengan obat antivirus. Dengan demikian, kombinasi ini akan mengobati peradangan sekaligus membunuh virus.
Obat pembunuh virus yang bisa dikombinasikan dengan Dexamethasone antara lain klorokuin, hidroksiklorokuin, remdesivir, oseltamivir, favipiravir, kombinasi lopenavir-ritonavir, dan lain-lain yang direkomendasikan WHO.
Pasien yang mendapat terapi kombinasi selanjutnya akan mengikuti tes COVID berulang. “Jika infeksi sembuh, tes swab sudah negatif artinya virus sudah tidak ada dalam tubuh,” lanjut Elin.
Kelebihan lain dari dexamethasone adalah harganya yang murah dan banyak ditemukan secara bebas. Produk Dexamethasone bisa berupa topikal untuk radang kulit, psoriasis; tablet untuk rematoid artritis, asma, radang usus (Crohn’s disease) dan multiple sclerosis; obat tetes hidung untuk rhinitis, injeksi atau melalui infus untuk meningitis, udem serebral dan inflamasi kritis, salep mata dan obat tetes mata untuk radang mata.
Meski demikian, Dexamethasone tentu memiliki efek samping, antara lain, menekan imunitas. Akibat dari efek samping ini justru bisa memperparah pasien dengan penyakit infeksi. Oleh karenanya, Dexamethasone tidak digunakan untuk pasien COVID-19 dengan gejala ringan atau yang tidak mengalami gangguan pernapasan.
“Pada pasien yang aliran udara ke paru-parunya masih baik tidak perlu Dexamethason dan pada uji klinik pun pada pasien infeksi SARS CoV 2 yang ringan efeknya tidak akan kelihatan karena tanpa Dexamethasone pun aliran oksigen masih cukup,” terangnya.
Efek samping lain dari dexamethasone ini antara lain nyeri tulang dan sendi sampai osteoporosis, meningkatkan napsu makan, berat badan naik, gangguan tidur, gangguan suklus menstruasi, gula darah meningkat dengan meningkatkan glukoneogenesis dan mengurangi kepekaan reseptor insulin, hingga gangguan penglihatan. “Semua obat ada manfaat dan ada efek sampingnya,” tandas Elin.