Tujuh Gempa Merusak di Indonesia dan Klaster-klasternya yang Mengancam
ERA.id – Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi mencatan tujuh kali kejadian gempa bumi merusak hingga Juni 2020. Dua kejadian gempa terjadi di Jawa Barat, tepatnya di wilayah Sukabumi. Gempa bumi kategori merusak tersebut rata-rata berkekuatan di atas magnitudo (M) 5.
Sumber gempa bumi Sukabumi sebenarnya bukan hal baru. Di daerah ini terdapat sesar atau patahan gempa bumi yang kerap menggeliat bernama Sesar Cimandiri, sebuah patahan gempa bumi yang membentang dari Pelabuhan Ratu sampai Subang.
Kejadian terbaru dari aktivitas sesar ini terjadi 22 Maret 2020. 1 madrasah ambruk di kecamatan Waluran pada peristiwa sekitar jam 10 pagi itu.
Menurut BMKG, episenter gempa bumi berkekuatan 5,5 magnitudo itu sedikit di luar zona Sesar Cimandiri. Namun sejumlah ahli melihat sumber gempa justru adalah Sesar Cimandiri.
“Kalau dikatakan masih ada kaitan dengan Cimanidiri juga masih bisa, karena lokasi episenter ada plus minusnya,” kata Plt Kasubbid Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Wilayah Timur PVMBG, Dr Supartoyo, dalam webinar Gempa Bumi Merusak Tahun 2020, baru-baru ini.
Akan tetapi sebelum gempa bumi 22 Maret, Supartoyo mencatat kejadian serupa 10 Maret 2020, lagi-lagi di Sukabumi. Kali ini sumber gempa bukan Sesar Cimandiri, melainkan Sesar Citarik yang membentang dari Pelabuhan Ratu hingga melewati Kabupaten Bekasi.
Supartoyo menyebut Sesar Citarik sebagai sumber gempa baru yang harus diwaspadai karena berpotensi mengasilkan gempa besar. Disebut sumber gempa baru bukan berarti sesar ini baru ketemu.
Sebelumnya Sesar Citarik diduga tidak aktif dan belum banyak diteliti. Sesar ini membentang dari Palabuhan Ratu sampai Bekasi dan dipengaruhi struktur Banten dan Jawa Barat.
Kata Supartoyo, kejadian gempa 10 Maret membuktikan bahwa Sesar Citarik aktif. Gempa 10 Maret terjadi sore hari dengan kekuatan 5,0 M pada kedalaman dangkal, 10 kilometer. Tercatat ratusan rumah rusak di Kecamatan Pamijahan dan Kalapanunggal.
Gempa Sesar Cimandiri dan Sesar Citarik merupakan satu dari 7 gempa bumi yang terekam sepanjang Januari hingga Juni 2020. 5 Gempa bumi merusak lainnya tersebar di ujung barat sampai timur Indonesia, kekuatannya di atas 5 Magnitude dan rata-rata kedalamannya dangkal atau sekitar 10 kilometer.
5 gempa bumi tersebut diawali kejadian di Aceh (Sameule) 7 Januari 2020, beberapa bangunan di Pulau Simeulue rusak, Maluku Seram utara 8 Februari 2020, mengakibatkan 1 pabrik kelapa sawit dan 21 rumah warga rusak di kecamatan Seram utara, Kabupaten Maluku tengah.
Berikutnya, gempa bumi Sumatera Utara (Padang Lawas), 30 April 2020, merusak 1 Sekolah Dasar, 2 masjid, dan 4 rumah penduduk Kabupaten Pulau Lawas, lalu gempa kembali mengguncang Aceh (Sabang) 4 Juni 2020 yang merusak 13 rumah di Kota Sabang, dan gempa merusak yang ketujuh terjadi di Maluku Utara (Morotai) 4 Juni 2020, menyebabkan 300 lebih bangunan di Kabupaten Pulau Morotai rusak.
Di antara 7 gempa bumi itu ada yang belum tercantum dalam database sumber gempa bumi nasional, yaitu Sesar Citarik. Posisi sesar ini berbatasan antara Jawa Barat dan Banten. Sesar ini perlu penelitian lebih lanjut, misalnya berapa segmen, kekuatan masing-masing segmen, dan bagaimana mitigasi atau pengurangan resiko bencana di lokasi sesar.
Sesar lainnya yang belum tercatat pada database ialah yaitu Sesar Sumatera segmen Aceh, segmen Baruman (Padang Lawas), dan Sesar Seram di utara Pulau Seram. Di tahun 2020 sesar-sesar tersebut menunjukkan potensi gempa merusak.
“Gempa bumi tersebut menjadi tantangan untuk meningkatkan mitigasi dan penyelidikan ke depan, untuk identifikasi karakterisik sumber gempa, mendapatkan data terbaru. Mitigsai perlu ditingkatkan pada wilayah gempa bumi yang belum muncul di segmen-segmen tersebut,” kata Supartoyo.
Sesar Sumatera mempunyai panjang 1.700 kilometer. Sesar ini terdiri dari berbagai segmen, salah satunya segemen Baruman. Meski sangat panjang, Sesar Sumatera tidak melepaskan energi (gempa bumi) secara bersamaan, melainkan per satu segmen.
Dalam sejarahnya, kata Supartoyo, segmen Baruman diperkirakan belum punya catatan gempa besar. Namun pada 30 April 2020 segmen Baruman bergerak dengan kekuatan di atas 5 M. Berdasarkan data Pusat Studi Gempa Nasional (PUSGEN, 2017), segmen ini mampu melepaskan energi 7,5 M. “Sehingga segemen ini perlu diwaspadai. Luar biasa, cukup dahyat apabila terjadi gempa bumi,” katanya.
Sama dengan Baruman, segmen Aceh juga tidak punya catatan sejarah gempa besar dan baru kali ini menghasilkan gempa merusak. Ini menunjukkan bahwa segmen Aceh berbahaya. Lagi-lagi mitigasi bencana menjadi sangat penting.
Di luar tujuh gempa merusak selama 2020, Supartoyo juga mengungkap beberapa klaster gempa bumi di sekitar zona Sesar Palu-Koro, zona Bali yang diduga terkait dengan patahan Flores, sesar aktif sekitar Pulau Buru, penunjaman ganda punggungan Talaud Mayo di sebelah barat Halmahera dan sebelah timur Sulawesi Utara, penunjaman Laut Banda, penunjaman lempeng Filipina, dan penunjaman Jawa.
Masing-masing sumber gempa itu tentu perlu diwaspadai mengingat aktivitas dan potensi kekuatannya yang merusak. “Gempa bumi menjadi tantangan untuk meningkatkan mitigasi dan penyelidikan ke depan. Mitigsai perlu ditingkatkan pada wilyah gempa yang belum muncul,” katanya.
Dan sejarah mencatat banyak kejadian gempa bumi merusak di Indonesia. Sejak tahun 2000 hingga kini jumlahnya mencapai 19 kejadian. Seperti yang disampaikan Supartoyo berulang-ulang, mitigasi menjadi keniscayaan.
Mitigasi akan mengurangi kerugian yang disebabkan gempa bumi. Sebagai gambaran, kerugian akibat gempa bumi di sejumlah daerah di Indonesia mencapai triliunan rupiah, menurut data BNPB. Gempa bumi Padang Pariaman 2009 menelan kerugian Rp4,8 triliun, gempa bumi Pidie Jaya 2016 (Rp1,7 triliun), gempa bumi Lombok 2018 (Rp12,2 triliun), dan gempa bumi Pasirgala 2018 (Rp18,5 triliun).
Di luar kerugian materi, tentu gempa bumi menelan kerugian imateril yang tak ternilai, yakni korban jiwa maupun orang-orang yang terdampak.