Sang ‘Arsip Hidup’ Urang Sunda pun Berpulang
ERA.id - Ajip Rosidi, sastrawan dan budayawan yang memelopori apresiasi terhadap sastra bahasa daerah dengan Hadiah Sastra Rancage, wafat di umur 82 tahun.
Ajip adalah penulis yang sangat produktif. Lahir pada 31 Januari 1938, ia sudah menerbitkan bukunya yang pertama, Tahun-Tahun Kematian, di umur 17 tahun. Ia juga pemimpin redaksi majalah Suluh Pelajar saat masih duduk di bangku SMP (1953-1955).
Sepanjang hidupnya, karya-karya Ajip Rosidi berjumlah ratusan. Ia menulis novel, sajak, kumpulan carita pantun bahasa Sunda, dan sejarah sastra Indonesia.
Tahun 1981, ia diundang menjadi pengajar bahasa Indonesia di Osaka Gaidai (Universitas Bahasa Asing Osaka). Di situ ia mengajar selama 18 jam dalam dua hari per pekan. Sisa lima hari di tiap pekan ia gunakan untuk membaca dan menulis, seperti ditulis di IDNTimes.
Saat mengajar di Osaka, Ajip masih mengikuti perkembangan sastra di Tanah Air. Saat inilah, ia merasa prihatin dengan sastrawan Sunda yang terus menulis dalam bahasa daerah, meskipun dengan honorarium kecil. Padahal, menurut Ajip, kualitas karya mereka tidak kalah dengan karya sastra Indonesia. Dari sinilah muncul keinginan Ajip untuk mengapresiasi para sastrawan Sunda tersebut, dan pada tahun 1989 ia mencetuskan Hadiah Sastera Rancage.
Dalam bahasa Sunda, rancage berarti "kreatif". Dalam penganugerahan yang pertama, Hadiah Sastra Rancage diberikan untuk karya cerpen "Jajaten Ninggang Papasten" yang ditulis oleh Yus Rusyana.
Ajip juga melihat terkaitnya sastra daerah dan penutur bahasa daerah. Maka, sejak tahun 1990, mulai memberi apresiasi terhadap jasa para pelopor bahasa Sunda. Tahun itu Sjarif Amin menjadi penerima penghargaan pertama Rancage atas jasanya memajukan sastra dan jurnalisme Sunda di abad ke-20.
Tidak terbatas pada bahasa dan sastra Sunda, Hadiah Sastra Rancage juga mengikutsertakan sejumlah bahasa dan karya literatur daerah sebagai obyek apresiasi. Mulai tahun 1994, karya sastra Jawa dibuatkan kategori tersendiri, diikuti karya sastra Bali di tahun 1998.
Kepeloporan Ajip Rosidi terhadap dunia sastra daerah bisa dilihat dari keterlibatannya dalam Proyek Penelitian Pantun dan Folklor Sunda (PPP-FS) pada tahun 1970-1973. Di situ, ia mengarsipkan dan mempublikasikan carita pantun Sunda. Sepak terjangnya dalam dunia sastra Sunda didokumentasikan dalam buku Jejak Langkah Urang Sunda: 70 tahun Ajip Rosidi yang terbit tahun 2008.
Ajip Rosidi juga dianugerahi gelar Doktor honoris causa bidang Ilmu Budaya oleh Fakultas Sastra Universitas Padjajaran pada tahun 2011.
Baca juga: 'Menyelami' Puisi Mahakarya Sapardi Djoko Damono
Selain memajukan sastra daerah, Ajip Rosidi pertama-tama juga merupakan sastrawan yang menulis dalam bahasa Indonesia. Ia pun sangat peduli pada bahasa Indonesia.
Sebagai pengajar bahasa Indonesia di Jepang, Ajip Rosidi paham betul seperti apa prospek bahasa Indonesia diajarkan sebagai bahasa asing. Dalam buku Tokoh Sastra Indonesia yang ditulis Laelasari dan Nurlailah (2007), Ajip Rosidi dikutip pernah berkata hubungan bahasa Indonesia dengan ekonomi nasional.
"Ketika perekonomian Indonesia sedang terpuruk, perhatian mereka (mahasiswa Jepang) terhadap bahasa Indonesia juga berkurang. Bahkan, ada beberapa universitas yang pada mulanya dilengkapi dengan jurusan Bahasa Indonesia, kemudian diganti dengan bahasa China," tulis Laelasari dan Nurlailah.
Berikut adalah sejumlah karya sajak Ajip Rosidi:
Tentang Maut
(Bagian II dan III)
II
Yang kukandung sajak hidup kumulai
Takkan kutolak, meski ia kubenci
Tapi kalau hidupku nak dikunci
Datang Tuhan menawari:
"Sukakah kau hidup semenit lagi?"
Kujawab pasti: "Suka sekali!"
III
Seperti gelap bagi kanak-kanak, pernah pada Maut aku ngeri
Karena tak berketentuan, bisa nyergap sesuka hati
Membayangi langkah, mengintip menanti saat
Dan bagi kesadaran jadi beban paling berat.
Kupertentangkan ia dengan Hidup yang seolah 'kan dia rebut
Kupilih pihak: Karena pada siksa neraka aku takut;
Namun kini tiada lagi, karena selalu kudapati
Napasnya menghembus dalam tiap hidup yang fana ini.
(1960)
Sebuah Parabel
Orang-orang pun mendaki gunung, memahat batu
dan pulang senja hari;
orang-orang berlayar ke laut, menangkap ikan
dan pulang sehabis badai;
orang-orang berangkat ke hutan, menebang kayu
dan pulang dengan beban yang berat;
dan orang-orang masuk kota, menjerat angan-angan
tak seorang pun kembali pulang.
(1972)
Ajip Rosidi wafat di usia 82 tahun pada tanggal 29 Juli 2020. Ia meninggalkan satu istri, Nani Wijaya, yang ia nikahi pada tahun 2017, pasca meninggalnya istri pertama, Fatimah Wirjadibrata. Ajip adalah ayah dari enam anak: Nunun Nuki Aminten, Titi Surti Nastiti, Uga Perceka, Nundang Rundagi, Rangin Sembada, dan Titis Nitiswari