Melirik Industri Film Biru: Tabukah Hal Porno di Jepang?
ERA.id - Pornografi Jepang memang punya ciri khas sendiri. Peminat khususnya juga banyak, apalagi di Indonesia. Mantan artis film "biru" dari Jepang saja, Maria Ozawa sempat membintangi film yang diproduksi dari Indonesia.
Dilansir dari detikcom, Tini (27), membeberkan pengalamannya saat sedang berada di sebuah kereta. Wanita yang tinggal di Kawasaki dan bekerja di Tokyo ini, pernah melihat seorang kakek tua membaca koran porno.
"Padahal orang di sebelah kiri, kanan, dan di depan dia bisa melihat isi koran yang dia baca," ujar wanita yang bekerja sebagai pengajar Bahasa Indonesia paruh waktu dan sudah tinggal di Jepang selama tiga tahun terakhir, pada 2018 lalu.
Ia menganggap, pornografi di Jepang sudah lumrah dan menjadi privasi dan urusan pribadi. Lukman secara terpisah juga menyetujui hal yang diungkapkan Tini.
"Suatu waktu, gue sedang di mobil dan gue melihat orang di mobil sebelah gue sedang asyik nonton video porno. Mereka pun santai saja, tidak merasa harus menutupi. Kaca mobil mereka mereka juga bukan yang gelap (sehingga tidak bisa kelihatan)," ujarnya.
Kata Tini, majalah berbau porno saja, di konbini (semacam minimarket), bisa dijual bebas, meski pembelinya pun harus cukup umur. Semuanya ditaruh di tempat khusus sendiri yang terpisah dan diberi tirai. Orang-orang tahu ke mana mereka harus mencari jika ingin mengakses konten pornografi.
Lalu Marwan (28), seorang programmer asal Indonesia yang kini bekerja di Osaka, bercerita kalau temannya di Jepang, mempunyai kawan semasa SMP yang kini menjadi bintang film porno.
"Awalnya dia kaget, cuma kalau orang tersebut nggak merasa bermasalah, ya kenapa nggak?" ujarnya.
Orang Jepang dilihatnya tak terlalu memandang negatif terhadap pekerjaan bintang porno. Meski begitu, bukan berarti tidak ada pandangan negatif. Bisa jadi keluarga atau orang terdekat bintang film dewasa tersebut tidak merestui.
"Karena industri ini legal, jadi ini pekerjaan biasa saja (seperti profesi lain). Juga tidak ada stigma sosial. Bahkan ada yang merasa bangga (menjadi bintang film dewasa) karena bisa membantu kehidupan seksual orang lain," ujar WNI bernama Lukman Adi Prananto (30).
Lukman beropini soal angka kelahiran penduduk di Jepang yang rendah dan hubungannya dengan pornografi. Ia mengatakan salah satu alasan orang-orang Jepang tidak mau menikah dan memiliki anak, adalah mahalnya biaya untuk berkeluarga dan membesarkan anak.
"Mereka jadi lebih berhati-hati dalam bertindak," kata Lukman.
Hitung-hitungan yang mahal inilah yang membuat banyak masyarakat Jepang takut untuk memiliki anak. Biaya untuk mengurus satu orang anak saja, mulai dari lahir hingga lulus kuliah, jika dirupiahkan, bisa mencapai Rp 5 miliar. Angka yang ia sebut sesuai dengan yang ditulis oleh The Japan Times, yang menyebut biaya berkisar antara 28,59-63,01 juta Yen atau sekitar Rp 3,6-8,2 miliar (kurs saat ini).
Selain itu, Lukman menambahkan, budaya orang-orang muda Jepang yang merupakan pekerja keras dan sering bekerja hingga lembur, membuat mereka tidak punya waktu untuk sekadar berkencan. Akibatnya, mereka menjadi tidak punya pasangan.
Dalam kondisi ini, pornografi pun menjadi salah satu jalan solusi untuk memenuhi kebutuhan biologis mereka sendiri, tanpa harus berhubungan seksual yang bisa menyebabkan kehamilan.