Aksi Protes Lebanon Dibayangi Masa Gawat Darurat
ERA.id - Aktivis reformasi Lebanon mengkhawatirkan adanya eskalasi sikap represif dari pihak militer pasca parlemen Lebanon menyetujui penetapan masa gawat darurat pada Kamis (13/8/2020).
Eks kabinet Perdana Menteri Hassan Diab menetapkan masa darurat 14 hari pada Rabu pekan lalu, setelah terjadi ledakan yang menewaskan 200 orang dan melukai 6.000 warga Beirut. Delapan hari kemudian, yaitu hari Kamis ini, keputusan tersebut mendapat persetujuan resmi dari parlemen.
Situasi gawat darurat memperbolehkan pasukan militer untuk menekan kebebasan berpendapat dan berkumpul, serta kebebasan pers. Pihak militer juga diberi kuasa untuk menggeledah rumah dan menangkap siapapun yang dianggap sebagai ancaman keamanan.
Selama masa darurat, seluruh proses pengadilan akan dijalankan di pengadilan militer, yang oleh organisasi Human Rights Watch dianggap tidak memenuhi standar roses peradilan.
Sejumlah aktivis khawatir bahwa penetapan gawat darurat akan mendorong pihak militer untuk menekan ekspresi kemarahan rakyat Lebanon terhadap elit politik di negara tersebut.
Masyarakat Lebanon tengah naik pitam karena ledakan dahsyat dari 2.750 ton metrik amonium nitrat pekan lalu dianggap menjadi bukti pengabaian petugas keamanan dan pejabat politik Lebanon.
Ketua parlemen Lebanon Nabih Berri mengatakan bahwa pihak militer tidak pernah mengambil langkah represif dan menekan pemberitaan televisi. "[Pihak militer] memberi ruang bagi aksi protes," kata Berri, seperti dikutip oleh media lokal.
Namun, militer Lebanon dan pasukan bersenjata dilaporkan bersikap represif pada demonstrasi Sabtu lalu. Sekitar 728 orang luka-luka dalam aksi protes tersebut, termasuk di antaranya sejumlah jurnalis.
Karim Nammour, anggota LSM Legal Agenda, mengatakan bahwa masa gawat darurat sebenarnya kurang diperlukan di Lebanon. Seperti dikutip Al Jazeera, saat ini Lebanon sudah dalam situasi "mobilisasi umum" karena pandemi virus korona.
"Situasi mobilisasi umum sudah memperbolehkan kabinet untuk mengerahkan militer dan mengontrol pertokoan dan urusan strategis lainnya," kata Nammour.
"Rezim pemerintah tahu bahwa posisi mereka lemah dan kurang disukai oleh massa di jalanan, dan mereka takut jika mereka dituding dari berbagai arah. Dan sudah ada banyak keinginan untuk balas dendam," pungkasnya.